Rabu, 12 Desember 2007

SUN (Surat Utang Negara) Syariah


Oleh: Irfan Syauqi Beik, Msc
Beberapa waktu lalu, menjelang keberangkatan rombongan Presiden SBY ke Timur Tengah, Menneg BUMN Sugiharto pernah menyatakan bahwa pemerintah saat ini tengah berupaya untuk menggali berbagai potensi dana yang berasal dari Timur Tengah, yang diperkirakan jumlahnya mencapai angka miliaran dolar AS. Diharapkan, kunjungan SBY ini akan menjadi momentum untuk mendorong peningkatan investasi Timur Tengah di Indonesia.

Namun demikian, para investor Timur Tengah tersebut mengharapkan agar Indonesia terlebih dahulu memperkuat infrastruktur investasi, dengan menyiapkan berbagai instrumen yang dapat mendorong proses percepatan masuknya aliran dana. Salah satu instrumen tersebut adalah sukuk / obligasi syariah yang diterbitkan oleh negara, atau yang kita kenal dengan istilah Surat Utang Negara (SUN) syariah. Melalui penerbitan SUN syariah di pasar global, diharapkan pintu masuk bagi para investor Timur Tengah akan semakin terbuka lebar. Sayangnya, hingga saat ini aturan mengenai penerbitan SUN syariah masih belum memiliki landasan hukum yang kuat, sehingga menjadi tugas pemerintahlah untuk segera melakukan revisi terhadap aturan-aturan yang ada.
Sejarah Sukuk
Sesungguhnya, sukuk / obligasi syariah ini bukan merupakan istilah yang baru dalam sejarah Islam. Istilah tersebut sudah dikenal sejak abad pertengahan, dimana umat Islam menggunakannya dalam konteks perdagangan internasional. Sukuk merupakan bentuk jamak dari kata sakk. Ia dipergunakan oleh para pedagang pada masa itu sebagai dokumen yang menunjukkan kewajiban finansial yang timbul dari usaha perdagangan dan aktivitas komersial lainnya (Ayub, 2005). Namun demikian, sejumlah penulis Barat yang memiliki concern terhadap sejarah Islam dan bangsa Arab, menyatakan bahwa sakk inilah yang menjadi akar kata “cheque” dalam bahasa latin, yang saat ini telah menjadi sesuatu yang lazim dipergunakan dalam transaksi dunia perbankan kontemporer (Adam, 2005).
Dalam perkembangannya, the Islamic Jurispudence Council (IJC) kemudian mengeluarkan fatwa yang mendukung berkembangnya sukuk. Hal tersebut mendorong Otoritas Moneter Bahrain (BMA – Bahrain Monetary Agency) untuk meluncurkan salam sukuk berjangka waktu 91 hari dengan nilai 25 juta dolar AS pada tahun 2001. Kemudian Malaysia pada tahun yang sama meluncurkan global corporate Sukuk di pasar keuangan Islam internasional. Inilah sukuk global yang pertama kali muncul di pasar internasional.
Selanjutnya, penerbitan sukuk di pasar internasional terus bermunculan bak cendawan di musim hujan. Tidak ketinggalan, pemerintahan di dunia Islam pun mulai melirik hal tersebut. Sebagai contoh, pada tahun 2002 pemerintah Malaysia menerbitkan sukuk dengan nilai 600 juta dolar AS dan terserap habis oleh pasar dengan cepat, bahkan sampai terjadi over subscribe. Begitu pula pada Desember 2004, pemerintah Pakistan menerbitkan sukuk di pasar global dengan nilai 600 juta dolar AS dan langsung terserap habis oleh pasar. Dan masih banyak contoh lainnya.
Harus kita akui, bahwa sukuk atau obligasi syariah ini adalah salah satu bentuk terobosan baru dalam dunia keuangan Islam, meskipun istilah tersebut adalah istilah yang memiliki akar sejarah yang panjang. Inilah salah satu bentuk produk yang paling inovatif dalam pengembangan sistem keuangan syariah kontemporer.
SUN Syariah di Indonesia
Jika kita cermati, maka fatwa tentang sukuk atau obligasi syariah ini sesungguhnya telah dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional MUI sejak tahun 2002. Dalam fatwa No. 32 / DSN-MUI / IX / 2002, obligasi syariah didefinisikan sebagai “suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil margin / fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo”. Dengan adanya fatwa tersebut, maka secara legal syariah, obligasi syariah ini tidak memiliki masalah.
Salah satu hal yang menarik adalah bahwa obligasi syariah ini dalam prakteknya harus didasarkan pada akad-akad yang sesuai dengan standar syariah, seperti mudarabah, musyarakah, murabahah, dan lain-lain. Sehingga, skema obligasi syariah yang ada bisa bermacam-macam, tergantung pada kebutuhan dan kondisi perekonomian suatu negara dan masyarakat. Skema tersebut bisa dalam bentuk mudarabah sukuk, musyarakah sukuk, murabahah sukuk, salam sukuk, dan lain-lain. Dengan pola demikian, obligasi syariah ini dapat menjadi alat yang efektif untuk mendorong pertumbuhan sektor riil karena akad-akad tersebut pada dasarnya merupakan bentuk investasi di sektor riil.
Kalau kita analisa, obligasi syariah ini sesungguhnya merupakan peluang bagi kita untuk mengundang para investor muslim dan non-muslim untuk mau terlibat berinvestasi di tanah air. Sehingga, obligasi syariah dapat dimanfaatkan untuk membangun perekonomian bangsa dan menciptakan kesejahteraan masyarakat. Fakta selama ini menunjukkan bahwa pasar akan sangat responsif terhadap penerbitan obligasi syariah. Hampir semua obligasi syariah yang dikeluarkan, diserap habis oleh pasar dan bahkan, pada beberapa kasus, sampai menimbulkan kelebihan permintaan. Apalagi jika obligasi syariah tersebut diterbitkan oleh negara.
Untuk itu, pemerintah Indonesia harus secara cermat memperhatikan kondisi yang ada dan segera bertindak cepat dan pro aktif untuk memanfaatkan segala peluang, dengan segera menerbitkan SUN syariah. Paling tidak, ada dua hal yang mendesak untuk dilakukan.
Pertama, pemerintah dalam hal ini Departemen Keuangan harus segera menyempurnakan payung hukum yang kuat bagi penerbitan SUN syariah ini. Penulis menganggap bahwa persoalan ini seharusnya bukanlah persoalan yang sulit. Tinggal apakah pemerintah memiliki komitmen yang kuat atau tidak. Amandemen terhadap undang-undang yang mengatur tentang obligasi menjadi mutlak dilakukan. Yang tidak kalah penting adalah pemerintah dan DPR harus terus menerus berkomunikasi secara intensif terkait dengan hal tersebut, termasuk juga bagaimana menciptakan iklim yang kondusif bagi pengembangan obligasi syariah.
Penulis dalam sebuah kesempatan beberapa waktu lalu pernah bertemu dengan beberapa praktisi keuangan syariah asal Malaysia. Mereka mengatakan bahwa jika saja pemerintah Indonesia mampu secara cepat mengatasi problematika regulasi terkait dengan penerbitan obligasi syariah, maka Indonesia diyakini akan menjadi pasar yang sangat menarik bagi para investor. Bahkan, bisa jadi Malaysia sendiri pun akan mampu “dikalahkan” oleh Indonesia sebagai pusat keuangan syariah terbesar di Asia Tengara mengingat besarnya potensi sumberdaya yang dimilikinya. Tentu saja hal tersebut terdengar seperti sebuah utopia, karena banyak variabel yang harus diperhitungkan. Meski demikian, hal tersebut bukan pula sesuatu yang mustahil.
Kedua, dalam perencanaan pembangunan, hendaknya pemerintah, melalui Bappenas, mulai memikirkan proyek-proyek pembangunan yang bersifat padat karya, dengan tujuan untuk menyerap pengangguran, yang sumber pendanaannya berasal dari penerbitan SUN syariah. Sudah saatnya kita tidak perlu mengemis-ngemis lagi kepada negara-negara kreditor untuk meminta penambahan utang luar negeri dengan bunga yang mencekik APBN. Apalagi kalau sampai menjadikan utang luar negeri sebagai salah satu sumber utama pembiayaan pembangunan dalam APBN.
Untuk itu, pendataan potensi daerah menjadi mutlak dilakukan. Disinilah pentingnya peran pemerintah pusat untuk berkomunikasi secara terbuka dan intensif dengan pemerintah daerah dalam mengembangkan potensi yang dimilikinya, sekaligus merencanakan pembangunan secara lebih tepat dan terarah. Sebagai contoh, di daerah yang memiliki potensi peternakan sapi, pemerintah perlu untuk membangun pabrik pengolahan susu sapi dan produk-produk turunannya, seperti kornet dan makanan kaleng daging sapi lainnya. Sumber pembiayaan pendirian pabrik tersebut bisa saja didapatkan dengan menerbitkan SUN syariah berbasis mudarabah. Atau untuk mengembangkan pertanian di suatu wilayah, pemerintah melalui Deptan perlu menerbitkan SUN syariah berbasis akad salam, sehingga diharapkan produktivitas petani akan semakin meningkat karena mereka akan termotivasi untuk terus berproduksi.
Bisa dibayangkan bagaimana dahsyatnya kekuatan SUN syariah ini. Banyak hal yang dapat dilakukan. Namun demikian, kita masih menunggu bagaimana langkah pemerintahan ini selanjutnya, terutama pasca kunjungan SBY ke Timteng. Mampukah mereka menangkap peluang ini? Wallahu’alam.
*Dosen FEM IPB dan Mahasiswa S3 Ekonomi Syariah IIU Malaysia

Tidak ada komentar: