Selasa, 25 Desember 2007

Anda Investasi Atau Investasi

Tulisan ini ingin mengambil artikel dari buku yang berjudul The Intelligent Investor oleh Benjamin Graham dalam tulisannya mengenai perilaku investasi dan perilaku spekulasi. Menurut Ben. Graham definisi investasi adalah ”Tindakan melalui analisis yang menyeluruh, menjanjikan keamanan dana pokok dan memberikan return (keuntungan/ pengembalian) memadai.” Analisis menyeluruh berarti studi tentang fakta-fakta dengan memperhatikan standar keamanan dan nilai, sedangkan keamanan dana pokok menegaskan pada perlindungan terhadap kerugian dalam semua kondisi normal, kemungkinan yang akan terjadi atau variasi. Return yang memadai mengacu pada setiap tingkat atau jumlah return berapapun kecilnya yang tersedia diterima oleh investor dengan catatan bahwa ia bertindak menggunakan kecerdasan yang memadai.
Penulis sangat prihatin dengan kondisi dimana orang mulai percaya bahwa pengujian terhadap suatu teknis investasi semata-mata soal apakah teknik tersebut ”berhasil” atau tidak. Jika mereka bisa mengalahkan pasar dalam suatu periode, tanpa peduli seberapa berbahaya dan salahnya taktik mereka, mereka dengan bangga mengatakan bahwa mereka ”benar”. Namun seorang investor yang intelligent tidak ingin hanya menjadi benar untuk sementara waktu. Untuk mencapai tujuan keuangan jangka panjang, Anda harus terus-menerus dan pasti benar. Teknik-teknik yang menjadi sangat terkenal pada tahun 1990-an yang disebut dengan day trading (membeli dan menjual saham dalam satu hari), mengabaikan diversifikasi, memperjualbelikan mutual fund yang sedang naik daun dan mengikuti berbagai sistem pemilihan saham – yang kelihatannya berhasil. Namun berbagai teknis tersebut tak memiliki peluang untuk bertahan dalam jangka panjang, karena semuanya tidak bisa memenuhi ketiga kriteria Graham dalam berinvestasi.
Dari Formula Menjadi Kegagalan Total
Sepanjang dasawarsa terakhir, formula spekulatif diperkenalkan satu demi satu, dipopulerkan, kemudian dicampakkan. Semua memiliki sejumlah ciri yang sama – ini cepat! Ini mudah! Ini tak akan membuat Anda rugi sedikit pun! – sementara semua melanggar setidaknya satu dari beberapa rumusan yang dibuat Graham untuk membedakan antara investasi dan spekulasi. Berikut ini formula trendy yang gagal total:
Ambil untung di tahun baru: ”Efek Januari” (The January effect) – kecenderungan saham-saham kecil untujk menghasilkan keuntungan besar pada sekitar pertukaran tahun- diperkenakan secara luas dalam berbagai artikel ilmiah dan buku-buku populer yang diterbitkan pada tahun 1980-an yang mengatakan bahwa jika Anda menimbun saham-saham kecil pada pertengahan kedua Desember dan menyimpannya hingga Januari, Anda akan mengalahkan pasar antara lima hingga 10 poin persentase (0.10%) Dengan makin banyaknya orang yang tahu tentang efek Januari, semakin banyak trader yang membeli saham-saham kecil pada Desember dan menjadikan saham tersebut tak lagi semurah sebelumnya dan dengan demikian menurunkan return. Selain itu, dampak terbesar dari efek Januari justru diciptakan oleh saham-saham yang paling kecil. Sayangknya ketika Anda telah selesai melakukan pembayaran kepada pialang Anda, semua keuntungan yang Anda peroleh dari efek Januari akan lenyap.

Seluruh formula yang sifatnya mekanikal demi memperoleh kinerja saham yang lebih tinggi sebenarnya adalah ”sejenis proses penghancuran diri- sama seperti hukum penurunan hasil (law of disinishing returns)”. Ada dua alasan mengapa return menjadi berkurang. Jika formula semata-mata didasarkan pada data-data statistik yang sifatnya kebetulan, maka waktu sendiri yang akan membuktikan bahwa sejak awal formula tersebut tak masuk akal. Di sisi lain, jika formula tersebut memang sudah berhasil sebelumnya (seperti Efek Januari) maka dengan mempublikasikannya, para kritikus pasar akan menggerogoti dan biasanya menghilangkan kemampuan formula itu untuk bisa melakukan hal yang serupa di masa yang akan datang.
Advis yang diberikan oleh Graham ketika Anda harus menyikapi spekulasi, yaitu seperti seorang penjudi kenyang pengalaman mengayunkan langkah-langkah kakinya ke kasino:
1. Jangan terperdaya oleh pikiran Anda yang mengatakan bahwa Anda sedang berinvestasi ketika sebenarnya Anda sebenarnya sedang berspekulasi.
2. Berspekulasi akan menjadi sangat mematikan pada saat Anda mulai melakukannya dengan serius.
3. Anda harus membuat batasan yang tegas atas jumlah yang berani Anda pertaruhkan.
Sama seperti seorang penjudi yang penuh perhitungan membawa katakan US$100 ke lantai kasino dan meninggalkan semua sisa uangnya dalam brankas terkunci di hotelnya, seorang investor pintar akan menyisihkan bagian yang sangat kecil dari seluruh portfolionya untuk digunakan sebagai ”uang gila.” Bagi sebagian besar kita, 10% dari semua kekayaan adalah jumlah maksimal yang masih mungkin digunakan untuk tujuan spekulatif yang berisiko.
Jangan pernah mencampur uang dalam rekening spekulatif Anda dengan uang yang ada dalam rekening investasi Anda; jangan pernah biarkan pikiran-pikiran spekulatif merasuk ke dalam aktivitas investasi Anda, dan jangan pernah meletakkan lebih dari 10% harta Anda ke dalam rekening uang gila, apa pun yang terjadi.
Bagaimanapun baik atau buruk insting untuk melakukan perjudian adalah bagian dari sifat dasar manusia-sehingga bagi kebanyakan orang tak ada gunanya untuk mencoba menyembunyikannya. Namun, Anda harus membatasi dan menahannya. Itu satu-satunya cara untuk yakin bahwa Anda tidak akan membodohi diri sendiri dengan mencampuradukkan spekulasi dengan investasi.
oleh : Radityo Rhifiardi

2008 : Tahun Edukasi Perbankan Syariah

Data membuktikan, bahwa market share perbankan syariah saat ini masih sekitar 1,7 % persen (sekitar Rp 31 triliun) dari total asset perbankan secara nasional. Angka ini menunjukkan konstribusi perbankan syariah terhadap perekonomian Indonesia masih kecil. Bank Indonesia melalui blue print perbankan syariah telah menargetkan share bank syariah sebesar 5..2 persen pada desember 2008. Bertenggernya market share perbankan syariah sejak belasan tahun di atas satu koma, karena program sosialisasi yang dilakukan masih sangat minim (belum optimal). Artinya, sosialisasi perbankan syariah masih sangat kurang. Masyarakat luas di berbagai segmen masih terlalu banyak belum mengerti sistem, konsep, filosofi, produk, keuntungan dan keunggulan bank syariah. Karena minimnya pengetahuan masyarakat tentang perbankan syariah, maka tahun 2008 hendaknya kita jadikan sebagai tahun edukasi perbankan syariah. Bank Indonesia sudah akan memulainya dengan menggelar Festival Ekonomi Syariah 2008, mulai tgl 16 sd 20 Januari 2008 di Jakarta Convention Centre.
Minimnya program edukasi perbankan syariah diakui oleh Bank Indonesia. Menurut buku “Outlook Perbankan Syariah 2008” yang disampaikan oleh Bank Indonesia pada acara seminar akhir tahun perbankan syariah di Bank Indonesia, bahwa kurangnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang kelembagaan maupun ragam produk dan jasa yang ditawarkan perbankan syariah dikarenakan kurang intensifnya kegiatan edukasi (sosialisasi) yang dilakukan. Selain kurangnya sosialisasi itu, metode sosialisasi yang ada belum tepat dan belum baik, sehingga hasilnya masih jauh dari apa yang diharapkan.
Minimnya gerakan sosialisasi tersebut terlihat dari upaya yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Menurut laporan akhir tahun Bank Indonesia 2006, kegiatan sosialisasi oleh Bank Indonesia sepanjang tahun 2006 hanyalah 51 kali. Hal itu tidak jauh berbeda dengan tahun 2007. Sebuah upaya yang sangat minim mengingat besarnya jumlah penduduk Indonesia. Idealnya dalam setahun bisa dilakukan minimal 5 juta kali sosialisasi dalam setahun, bukan 51 kali. Oleh karena, program sosialisasi perlu dilaksanakan lebih ekstra di tahun 2008, baik oleh bank Indonesia, bank-bank syariah, akademisi dan masyarakat ekonomi syariah secara umum.
Bentuk sosialisasi perbankan syariah sangat beragam dan luas, seperti melalui media massa cetak atau elektronik, kegiatan pameran, buletin, majalah, buku, lembaga pendidikan, dan sebagainya. Tulisan ini, ingin menyuguhkan sebuah strategi jitu dan paling ampuh dalam mencapai target market share perbankan syariah 5%, 10% bahkan 40 %.
Prof.Dr.M.A. Mannan, pakar ekonomi Islam, dalam buku Ekonomi Islam, sejak tahun 1970 telah mengingatkan pentingnya upaya edukasi masyarakat tentang keunggulan sistem syariah dan keburukan dampak sistem ribawi. Dalam hal ini keseriusan Bank Indonesia perlu dipertanyakan, karena selama ini Bank Indonesia tidak memberikan perhatian yang berarti bagi upaya sosialisasi bank syariah, karena hanya sosilisasi sebanyak 51 kali dalam setahun. Betul, Bank Indonesia telah mendorong secara signifikan dari aspek regulasi seperti office channeling dan peraturan lainnya yang mendukung berkembangnya perbankan syariah. Namun dari segi edukasi yang meluas, masih jauh panggang dari api.
Harus diakui bahwa hampir satu juta masjid dan mushalla di Indonesia, sepi dari dakwah ekonomi syariah, padahal di situ berkumpul puluhan bahkan seratusan juta umat Islam, khususnya pada momentum khutbah jumat. Kesalahan besar Bank Indonesia atau juga bank-bank syariah ialah mereka mengatakan bahwa pasar tersebut bersifat segmented dan sudah jenuh, sehingga market share masih 1.7 % (baca Outlook Perbabkan suyariah 2008, hal, 15). Justru ceruk pasar jamaah masjid itulah yang masih terbuka luas yang belum digarap bank-bank syariah dan belum diperhatikan Bank Indonesia. Pasar inilah yang harus menjadi perioritas.
Di masjid berkumpul para pengusaha, hartawan, para presiden direktur, pejabat penting, tokoh masyarakat dan sebagainya. Jangan dianggap jamaah yang shalat jumat di masjid-masjid adalah masyarakat biasa atau tukang ojek. Tidak. Sekali-kali tidak. Ceruk pasar lainnya adalah masjid ta’lim, kelompok bimbingan jamaah haji, pesantren dan sebagainya.
5 juta kali sosialisasi
Sebagaimana disebut di atas, bahwa idealnya sosialisasi perbankan syariah dilakukan sebanyak 5 juta kali dalam setahun. Asumsinya, jumlah masjid di Indonesia sekitar 600.000 buah. Jika dalam setahun hanya 1 kali sosialisasi di tiap masjid, maka dibutuhkan 600.000 kali sosialisasi. Ingat di masjid-masid tidak cukup hanya sekali sosialisasi. , minal 3 atau 4 kali sosialisasi, agar pemahaman jamaah benar-benar mendalam, bukan sekedar kulit. Maka jika di setiap masjid hanya dilakukan 4 kali sosialisasi, maka dibutuhkan 2,4 juta kali sosialisasi. Belum termasuk sosialisasi terhadap 600.000 ustaz/ulamanya sebagai guru ekonomi syariah yang akan menyampaikan dakwah ekonomi Islam. Untuk mentraining para ulama minimal dibutuhkan 6.000 kali sosialisasi, dengan asumsi setiap sosialiasi dihadiri 100 peserta dan setiap sosialisasi memakan waktu 3 hari.
Sosialisasi juga mutlak dilakukan berkali-kali dalam setahun kepada majlis ta’lim ibu-ibu yang tersebar di seluruh Indonesia. Ingat, hampir di setiap desa dan kelurahan terdapat majlis ta’lim ibu-ibu, jumlahnya ratusan ribu majlis ta’lim ibu-ibu. Jika sosialisasi keada majlis ta’lim ibu dilakukan hanya 4 kali, maka paling tidak dibutuhkan 3.000.000 kali sosialisasi dengan asumsi di Indonesia ada 750 ribu kelompok majlis ta’lim.
Belum lagi sosialisasi terhadap pesantren yang jumlahnya mencapai 15.000. buah yang tersebar di Indonesia. Jika dalam setahun hanya dilakukan 1 kali kegiatan sosialisasi, maka dibutuhkan 15.000 kali sosialisasi. Sosialisasi juga harus dilakukan kepada seluruh seluruh Perguruan Tinggi, tidak saja kepada fakultas ekonomi dan fakultas syariah tetapi juga ke seluruh civitas akademika, biro rektor dan sebagainya. Jumlahnya secara keseluruhan juga tidak kurang dari 15.000.-.. Sekolah SMU juga perlu mendapat perhatian untuk sosialisasi yang jumlahnya lebih dari 70.000 sekolah. Demikian pula kepada seluruh sekolah Madrasah Aliyah (MAN/MAS), Tsnawiyah, . Jumlahnya lebih dari 40.000 sekolah. Demikian pula kepada aparat pemerintah di setiap kecamatan, kabupaten kota, para pegawai di dinas-dinas pemerintah, DPRD, instansi departemen di tingkat propinsi dan kabupaten kota. Belum lagi kelompok KBIH (Kelompok Bimbingan Ibadah Haji). Bahkan tidak mustahil sosialisasi kepada sekolah SD dan TK, agar bank syariah lebih dkenal sejak awal.
Berdasarkan kebutuhan akan sosialisassi tersebut, maka tidak aneh jika saat ini dibutuhkan 5 juta kali sosialisasi oleh para ahli dan atau ustaz yang terlatih. Iklan di televisi, radio memang dibutuhkan, namun sosialisasinya melahirkan market yang mengambang (floating), tidak mendalam dan siginifikan mencerdaskan umat Islam yang mendengarnya. Maka di samping iklan media massa seperti itu, sangat diperlukan pula edukasi langsung kepada masyarakat dengan metode dan materi yang tepat. Perlu menjadi catatan, bahwa Bank Indonenia tidak boleh merasa bahwa sosialisasi yang dilakukannya sudah terlalu banyak. Ini kesalahan yang sangat fatal. Sosialisasi yang dilakukan Bank Indonesia bagaikan setetes air di tengah sungai yang besar, hampir tidak berpengaruh bagi masyarakat secara signifikan, maka tidak aneh jika sejak beberapa tahun terakhir market share bank shariah masih kecil. Indonesia adalah bangsa yang besar dan negara yang luas. Penduduknya lebih dari 200 juta. Maka edukasi bank syariah mustahil dilakukan sendirian oleh Bank Indonesia dan PKES yang dibentuknya, ditambah promosi bank-bank syariah.
Upaya-upaya promosi dan sosialisasi itu masih sangat kecil dan terbatas. Ratusan juta (sebagian besar) umat Islam Indonesia belum mengerti tentang sistem perbankan syariah. Puluhan ribu ulama yang berkhutbah di mesjid belum menyampaikan materi ekonomi syariah secara rasional, ilmiah, bernash agama dan meyakinkan umat. Hal ini karena para ulama/ ustas belum mengerti ilmu perbankan syariah.. Ratusan ribu mesjid masih sepi dari topik ekonomi ekonomi syariah, karena para ustaznya tidak mengerti (bahkan tidak yakin) pada keunggulan bank syariah. Malah masih terlalu banyak ulama yang berpandangan dangkal bahkan miring tentang perbankan syariah. Seandainya para ustaz/ulama telah dicerdaskan dengan ilmu muamalah yang ilmiah (’aqliyah) dalam bidang perbankan, niscaya market share perbankan syariah tidak seperti saat ini, bahkan akan tercipta customer yang rasional, bermoral dan loyal. Jika sosialisasi sudah tepat dan benar dilakukan, hampir dipastikan tak ada jamaah masjid yang mendukung bank-bank konvesional yang memakai bunga. Jamaah masjid di Indonesia lebih dari 100 juta umat. Kini nasabah bank syariah masih 2 jutaan. Itu berarti hampir seluruh jamaah masjid yang berhubungan dengan perbankan masih menggunakan bank-bank ribawi.
IAEI siap dan sanggup untuk melakukan perubahan paradigma ulama tentang perbankan serta mentraining ulama berdasarkan pendekatan integratif, ilmu-ilmu syariah dan ekonomi. Ilmu-ilmu syariah dakam hal ini bukan hanya fiqh muamalah, tetapi perangkat ilmu-ilmu alat yang sering menjadi andalan para ulama, seperti ilmu tafsir, hadits, ushul fiqh, qawaid fiqh, falsafah tasyri’, falsafah hukum Islam. Kesemuanya digabungkan dengan ilmu-ilmu modern, ilmu ekonomi moneter, perbankan dan ilmu ekonomi makro.

Pendekatan Komprehensif
Selama ini pendekatan sosialisasi belum utuh dan integratif, masih parsial dan tidak tuntas, sehingga virus keraguan para ulama dan masyarakat tentang perbankan syariah tidak hilang. Senjata sosialisasi yang ada selama ini belum ampuh menaklukkan ilmu para ulama, akademisi dan tokoh agama. Maka diperlukan modul dan materi yang telah terbukti ampuh berhasil merubah paradigma ulama dan myakinkan mereka secara rasional, ilmiah, tajam dan disertai pendekatan ilmu-ilmu syariah itu sendiri.
Jika personil Bank Indonesia atau pun bank syariah yang berasal dari pendidikan umum memberikan sosialisasi kepada para ulama pesantren, maka ulama bisa saja menolak berdasarkan ilmu ushul fiqh atau disiplin ilmu syariah lainnya. Para ulama menggangap bahwa para bankir dari Bank Indonesia dan bank syariah tidak ahli dalam tafsir ayat-ayat al-quran, hadits, ilmu ushul fiqh, tarikh tastri’ dan sebagainya. Karena itu, pendekatan kepada ulama haruslah melalui pendekatan ilmu-ilmu syariah sendiri ditambah ilmu-ilmu moneter dan perbankan secara utuh.
Sebaliknya jika ulama pesantren yang melakukan sosialisasi, juga tidak cukup karena pendekatannya sering dengan ideom halal haram, penggunaan dalil naqli an sich dan kering dari teori-teori rasional yang ilmiah atau tidak ada informasi ilmiah yang dilekatkan kepada syariah.
Sosialisasi kepada umat, bukan melulu pendekatan religius normatif (emosional) dan karena lebel syariah, tetapi lebih dari itu, sebuah materi yang berwawasan ilmiah, rasional dan obyektif. Jadi, gerakan edukasi dan pencerdasan secara rasional tentang perbankan syariah sangat dibutuhkan, bukan hanya mengandalkan kepatuhan (loyal) pada syariah. Masyarakat yang loyal syariah terbatas paling sekitar 10-15 %. Masyarakat harus dididik, bahwa menabung di bank syariah, bukan saja karena berlabel syariah, tetapi lebih dari itu, sistem ini dipastikan akan membawa rahmat dan keadilan bagi ekonomi masyarakat, negara dan dunia, tentunya juga secara individu menguntungkan. Dalam edukasi, masyarakat betul-betul dicerdaskan, masyarakat diajak agar tidak berpikir sempit, tetapi rasional, obyektif, berpikir untuk kepentingan jangka panjang.
Karena informasi keilmuan yang terbatas, masyarakat masih banyak yang menyamakan bank syariah dan bank konvensional secara mikro dan sempit. Masyarakat (publik) masih banyak yang belum mengerti betapa sistem bunga, membawa dampak yang sangat mengerikan bagi keterpurukan ekonomi dunia dan negara-negara bangsa. Karena itu sistem syariah harus dibangun secara bertahap, terprogram dan terukur dengan target-target yang realistis.
Jika masyarakat masih menganggap sama bank syariah dengan bank konvensional, itu berarti, masyarakat belum faham tentang ilmu moneter syariah, dan ekonomi makro syariah tentang interest, dampak bunga terhadap inflasi, produktitas, unemployment, juga belum faham tentang prinsip, filosofi, konsep dan operasional bank syari’ah.
Menggunakan pendekatan rasional sempit melalui iklan yang floating (mengambang) hanya menciptakan custumer yang rapuh dan mudah berpindah-pindah. Maka perlu menggunakan pendekatan rasional komprehensif, yaitu pendekatan yang menggabungkan antara pendekatan rasional, moral dan spiritual.
Pendekatan rasional adalah meliputi pelayanan yang memuaskan, tingkat bagi hasil dan margin yang bersaing, kemudahan akses dan fasilitas. Pendekatan moral adalah penjelasan rasional tentang dampak sistem ribawi bagi ekonomi negara, bangsa dan masyarakat secara agregat, bahkan ekonomi dunia. Maka secara moral, tanpa memandang agama, semua orang akan terpanggil untuk meninggalkan sistem riba.
Pendekatan spiritual adalah pendekatan emosional keagaaman karena sistem dan label syariah. Pendekatan ini cocok bagi mereka yang taat menjalankan agama, atau masyarakat yang loyal kepada aplikasi syariah. Upaya membangun pasar spiritual yang loyal masih perlu dilakukan, agar sharenya terus meningkat. Semakin gencar sosialisasi membangun pasar spiritual, maka semakin tumbuh dan meningkat asset bank-bank syariah.
Jika Bank Indonesia dan bank-bank syariah bekerjasama dengan IAEI (Ikatan Ahli Ekonomi Islam) dan para akademisi serta ulama secara serius dalam mengedukasi masyarakat, maka akan terjadi kemajuan yang luar biasa, tidak saja loncatan hebat dalam market share bank syariah, tetapi juga terbangun kecerdasan umat dalam memilih lembaga perbankan secara ilmiah dan istiqamah.

Penutup
Mengingatnya minimnya gerakan sosialisasi bank syariah dan kecilnya market sharenya (1, 7%), maka tahun 2008 hendaknya dijadikan sebagai tahun edukasi ekonomi syariah. Jika gerakan edukasi dan sosialisasi dilakukan secara optimal dan tepat, maka market share bank syariah 5,2 persen, bisa dicapai dengan cepat dengan basis nasabah yang istiqamah, bermoral dan rasional, tidak mudah berpindah-pindah ke bank konvensional karena kenaikan suku bunga perbankan konvensional. Upaya Bank Indonesia mendesak bank-bank konvensional yang membuka office channeling agar menempelkan logo (spanduk) adanya layanan syariah di kantor bank konvensional, sangat bagus, namun masyarakat harus dicerdaskan mengapa harus memilih bank syariah. Kita tidak ingin terjadinya pemilihan ke bank syariah karena ikut-ikutan, tanpa dasar ilmu pengetahuan, atau karena emosional saja. Nasabah seperti ini mudah kecewa dan menyebarkan kekecewaaannya kepada orang lain, sehingga menimbulkan citra buruk bagi bank-bank syariah. Padahal kekecewaaanya tersebut seringkali karena salah faham atau kurang mengerti tentang perbankan syariah. Insya Allah kita sangat siap membantu pencerdasan masyarakat tentang perbankan syariah tersebut, dan di beberapa daerah telah telah dibuktikan secara faktual keberhasilannya.
oleh : Agustianto
(Penulis adalah Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia, Dosen Pascasarjana Ekonomi dan Keuangan Islam UI, Pascasarjana Islamic Economics and Finance Universitas Trisakti, Pascasarjana Bisnis dan Keuangan Islam Universitas Paramadina dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Konsentrasi Perbankan Syariah)

Market Share Bank Syariah

Abstraksi
Artikel ini mencoba mengkritisi akselerasi perkembangan perbankan syari'ah nasional agar mencapai market share 5%. Kekhawatiran bermunculan dari berbagai kalangan bahwa tahun 2008 perbankan syari'ah nasional tidak memenuhi target market share 5% dari total aset perbankan nasional sesuai Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syari'ah Indonesia. Untuk mempercepat hal tersebut BI menetapkan Kebijakan Akselerasi Perkembangan Perbankan Syari'ah 2007-2008.Dampak akselerasi perkembangan perbankan syari'ah, bila dilihat lebih lanjut memunculkan masalah-masalah baru. Pertama, meningkatnya NPF yang mencapai 6,2% per September 2007 (lebih tinggi dari prosentasi NPL perbankan konvensional) . Kedua, tidak memiliki upaya genuine pengembangan produk perbankan syari'ah. Ketiga, masalah kedua merupakan dampak hilangnya sense melakukan identifikasi core competencies unique bank syari'ah yang mengusung nilai-nilai Islam Indonesia (universal sekaligus lokal). Keempat, penegasan pentingnya kuantitas dalam program akselerasi menggeser kepentingan kualitas perbankan syari'ah. Diperlukan pembenahan mendasar mengenai Cetak Biru dan Program Akselerasi Pengembangan Perbankan Syari'ah. Pertama, hendaknya visi pengembangan sesuai maqashid asy syari'ah, yaitu mashlaha, kesejahteraan ummat yang hakiki, yang menekankan harmoni dan keseimbangan produksi-intermedia si-retail sesuai ushwah model ekonomi Rasulullah. Kedua, agar visi sesuai maqashid asy syari'ah diperlukan reorientasi diri yang berpijak pada ditemukannya core competencies. Ketiga, pengembangan produk perbankan syari'ah hendaknya sesuai dengan core competencies sehingga memunculkan karakter genuine perbankan syari'ah ala Indonesia. Keempat, perlunya dikembangkan produk qardh yang tetap mengedepankan prinsip produktif dan bukannya untuk kepentingan konsumtif. Kelima, perlunya regulasi Bank Indonesia berkenaan prioritas pengembangan produk muzara'ah dan musaqah bagi kalangan perbankan syari'ah. Keenam, peningkatan market share tetap mementingkan kuantitas maupun kualitas dan tidak didasari prioritas "kompetitif" dan "efisiensi", tetapi mementingkan harmoni dan mashlaha sebagai tujuan utama perbankan syari'ah.
oleh : Adji Dedi Mulawarman

Selasa, 18 Desember 2007

Dinamika Kompetisi Perbankan Syariah

Dinamika kompetisi perbankan, termasuk produk syariah, yang makin tinggi mengakibatkan suatu competitive advantage yang dimiliki oleh suatu bank makin tidak sustainable. Dengan demikian, sebuah bank harus melakukan berbagai upaya pembaharuan yang tidak kenal henti untuk dapat menjadi pemain utama pada segment-nya. Sehingga, dapat menjadi preferensi utama customer yang berujung pada kepuasan dan bahkan loyalitas.

Seiring dengan berkembangnya suatu bisnis yang membuat persaingan menjadi ketat, banyak perusahaan berlomba-lomba meningkatkan fasilitas, prasarana, dan berbagai manfaat lainnya kepada pelanggannya. Hal tersebut juga terjadi pada industri perbankan, termasuk Bank Syariah. Namun, menurut para pakar manajemen, apabila hal tersebut dilakukan tanpa melihat dan memperhatikan kebutuhan pelanggan yang sesungguhnya, maka hal tersebut akan menjadi kontraproduktif. Dengan demikian, investasi besar-besaran dalam hal layanan yang bersifat fungsional tersebut, belum tentu mampu meningkatkan laba perusahaan, meskipun apa yang telah diupayakan berhasil meningkatkan kepuasan nasabah.

Untuk mengantisipasi permasalahan di atas pada era teknologi informasi yang percepatannya sangat luar biasa saat ini, diperlukan sebuah strategi yang berbeda daripada era sebelumnya. Mengadakan infrastruktur teknologi informasi seorang diri untuk kondisi saat ini, merupakan sebuah tindakan yang lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Untuk itu, diperlukan sebuah strategi yang memanfaatkan sinergi dari masing-masing pesaing agar permasalahan perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat dapat diantisipasi dengan membentuk sebuah kelompok penggunaan teknologi bersama. Dengan demikian, kompetitor tidak lagi menjadi “pesaing” dalam arti sempit, tetapi menjadi mitra dalam persaingan. Alternatif seperti itu dapat dimasukkan dalam kategori koopetisi (coopetition) yang sedang menjadi trend strategi baru bagi para pebisnis.

Dalam konsep bisnis islami dikenal suatu konsep tawa’un yang dilandasi dari semangat ajaran Al Qur’an yang menyebutkan “… Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan janganlah tolong menolong dalam perbuatan dosa dan pelanggaran. …” (Surah Al-Maidah/5: 2). Konsep tersebut mengajarkan sebuah kebersamaan akan membawa hasil yang lebih optimal. Namun demikian, kebersamaan dalam bisnis islami bukan berarti persamaan. Islam mengakui adanya perbedaan antara satu pihak dengan pihak lainnya sebagaimana, antara lain, disebut dalam Surah Az Zukhruf/43:32) , yakni: “… Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. …” Dengan demikian strategi koopetasi dalam bisnis tidak bertentangan dengan nilai-nilai ekonomi islami.

Bagi sebuah bank syariah, sebagai lembaga bisnis islami, dalam melakukan strategi koopetasi dapat saja bergabung dengan semua bank-bank yang telah atau akan memiliki teknologi informasi yang up to date dan distribution channel yang paling luas. Di samping itu, dapat pula memanfaatkan layanan bersama yang dipersiapkan oleh pihak ketiga yang khusus mengelola peluang-peluang tersebut dengan menyediakan sebuah fasilitas penghubung.

Sinergi yang dilakukan sebuah bank syariah dengan para pesaing dalam strategi koopetisi, dapat dilakukan pada semua pelayanan perbankan terpadu. Hal minimal yang harus dapat dilayani dengan adanya sinergi tersebut adalah seorang nasabah sebuah bank syariah dapat menyetor dan menarik serta mentransfer dana dari dan ke rekening yang dimiliki dari seluruh bank yang diajak besinergi. Langkah berikutnya bisa melayani pemberian pembiayaan bersama (hal ini hanya bisa dilakukan dengan sesama bank atau unit pelayanan syariah). Kemudian, diharapkan semua layanan perbankan dapat dijangkau nasabah sebuah bank syariah, meskipun tidak dilakukan secara langsung pada infrastuktur yang dimiliki langsung oleh bank syariah tersebut.

Dengan berubahnya era ekonomi saat ini yang bergantung kepada perubahan teknologi informasi yang begitu cepat, strategi koopetisi di antara pemain di industri perbankan syariah akan menjadi sebuah hal yang tidak dapat dielakkan untuk menjamin eksistensi sebuah bank dalam menghadapi persaingan yang semakin terbuka di masa depan.


Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)

Rabu, 12 Desember 2007

SUN (Surat Utang Negara) Syariah


Oleh: Irfan Syauqi Beik, Msc
Beberapa waktu lalu, menjelang keberangkatan rombongan Presiden SBY ke Timur Tengah, Menneg BUMN Sugiharto pernah menyatakan bahwa pemerintah saat ini tengah berupaya untuk menggali berbagai potensi dana yang berasal dari Timur Tengah, yang diperkirakan jumlahnya mencapai angka miliaran dolar AS. Diharapkan, kunjungan SBY ini akan menjadi momentum untuk mendorong peningkatan investasi Timur Tengah di Indonesia.

Namun demikian, para investor Timur Tengah tersebut mengharapkan agar Indonesia terlebih dahulu memperkuat infrastruktur investasi, dengan menyiapkan berbagai instrumen yang dapat mendorong proses percepatan masuknya aliran dana. Salah satu instrumen tersebut adalah sukuk / obligasi syariah yang diterbitkan oleh negara, atau yang kita kenal dengan istilah Surat Utang Negara (SUN) syariah. Melalui penerbitan SUN syariah di pasar global, diharapkan pintu masuk bagi para investor Timur Tengah akan semakin terbuka lebar. Sayangnya, hingga saat ini aturan mengenai penerbitan SUN syariah masih belum memiliki landasan hukum yang kuat, sehingga menjadi tugas pemerintahlah untuk segera melakukan revisi terhadap aturan-aturan yang ada.
Sejarah Sukuk
Sesungguhnya, sukuk / obligasi syariah ini bukan merupakan istilah yang baru dalam sejarah Islam. Istilah tersebut sudah dikenal sejak abad pertengahan, dimana umat Islam menggunakannya dalam konteks perdagangan internasional. Sukuk merupakan bentuk jamak dari kata sakk. Ia dipergunakan oleh para pedagang pada masa itu sebagai dokumen yang menunjukkan kewajiban finansial yang timbul dari usaha perdagangan dan aktivitas komersial lainnya (Ayub, 2005). Namun demikian, sejumlah penulis Barat yang memiliki concern terhadap sejarah Islam dan bangsa Arab, menyatakan bahwa sakk inilah yang menjadi akar kata “cheque” dalam bahasa latin, yang saat ini telah menjadi sesuatu yang lazim dipergunakan dalam transaksi dunia perbankan kontemporer (Adam, 2005).
Dalam perkembangannya, the Islamic Jurispudence Council (IJC) kemudian mengeluarkan fatwa yang mendukung berkembangnya sukuk. Hal tersebut mendorong Otoritas Moneter Bahrain (BMA – Bahrain Monetary Agency) untuk meluncurkan salam sukuk berjangka waktu 91 hari dengan nilai 25 juta dolar AS pada tahun 2001. Kemudian Malaysia pada tahun yang sama meluncurkan global corporate Sukuk di pasar keuangan Islam internasional. Inilah sukuk global yang pertama kali muncul di pasar internasional.
Selanjutnya, penerbitan sukuk di pasar internasional terus bermunculan bak cendawan di musim hujan. Tidak ketinggalan, pemerintahan di dunia Islam pun mulai melirik hal tersebut. Sebagai contoh, pada tahun 2002 pemerintah Malaysia menerbitkan sukuk dengan nilai 600 juta dolar AS dan terserap habis oleh pasar dengan cepat, bahkan sampai terjadi over subscribe. Begitu pula pada Desember 2004, pemerintah Pakistan menerbitkan sukuk di pasar global dengan nilai 600 juta dolar AS dan langsung terserap habis oleh pasar. Dan masih banyak contoh lainnya.
Harus kita akui, bahwa sukuk atau obligasi syariah ini adalah salah satu bentuk terobosan baru dalam dunia keuangan Islam, meskipun istilah tersebut adalah istilah yang memiliki akar sejarah yang panjang. Inilah salah satu bentuk produk yang paling inovatif dalam pengembangan sistem keuangan syariah kontemporer.
SUN Syariah di Indonesia
Jika kita cermati, maka fatwa tentang sukuk atau obligasi syariah ini sesungguhnya telah dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional MUI sejak tahun 2002. Dalam fatwa No. 32 / DSN-MUI / IX / 2002, obligasi syariah didefinisikan sebagai “suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil margin / fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo”. Dengan adanya fatwa tersebut, maka secara legal syariah, obligasi syariah ini tidak memiliki masalah.
Salah satu hal yang menarik adalah bahwa obligasi syariah ini dalam prakteknya harus didasarkan pada akad-akad yang sesuai dengan standar syariah, seperti mudarabah, musyarakah, murabahah, dan lain-lain. Sehingga, skema obligasi syariah yang ada bisa bermacam-macam, tergantung pada kebutuhan dan kondisi perekonomian suatu negara dan masyarakat. Skema tersebut bisa dalam bentuk mudarabah sukuk, musyarakah sukuk, murabahah sukuk, salam sukuk, dan lain-lain. Dengan pola demikian, obligasi syariah ini dapat menjadi alat yang efektif untuk mendorong pertumbuhan sektor riil karena akad-akad tersebut pada dasarnya merupakan bentuk investasi di sektor riil.
Kalau kita analisa, obligasi syariah ini sesungguhnya merupakan peluang bagi kita untuk mengundang para investor muslim dan non-muslim untuk mau terlibat berinvestasi di tanah air. Sehingga, obligasi syariah dapat dimanfaatkan untuk membangun perekonomian bangsa dan menciptakan kesejahteraan masyarakat. Fakta selama ini menunjukkan bahwa pasar akan sangat responsif terhadap penerbitan obligasi syariah. Hampir semua obligasi syariah yang dikeluarkan, diserap habis oleh pasar dan bahkan, pada beberapa kasus, sampai menimbulkan kelebihan permintaan. Apalagi jika obligasi syariah tersebut diterbitkan oleh negara.
Untuk itu, pemerintah Indonesia harus secara cermat memperhatikan kondisi yang ada dan segera bertindak cepat dan pro aktif untuk memanfaatkan segala peluang, dengan segera menerbitkan SUN syariah. Paling tidak, ada dua hal yang mendesak untuk dilakukan.
Pertama, pemerintah dalam hal ini Departemen Keuangan harus segera menyempurnakan payung hukum yang kuat bagi penerbitan SUN syariah ini. Penulis menganggap bahwa persoalan ini seharusnya bukanlah persoalan yang sulit. Tinggal apakah pemerintah memiliki komitmen yang kuat atau tidak. Amandemen terhadap undang-undang yang mengatur tentang obligasi menjadi mutlak dilakukan. Yang tidak kalah penting adalah pemerintah dan DPR harus terus menerus berkomunikasi secara intensif terkait dengan hal tersebut, termasuk juga bagaimana menciptakan iklim yang kondusif bagi pengembangan obligasi syariah.
Penulis dalam sebuah kesempatan beberapa waktu lalu pernah bertemu dengan beberapa praktisi keuangan syariah asal Malaysia. Mereka mengatakan bahwa jika saja pemerintah Indonesia mampu secara cepat mengatasi problematika regulasi terkait dengan penerbitan obligasi syariah, maka Indonesia diyakini akan menjadi pasar yang sangat menarik bagi para investor. Bahkan, bisa jadi Malaysia sendiri pun akan mampu “dikalahkan” oleh Indonesia sebagai pusat keuangan syariah terbesar di Asia Tengara mengingat besarnya potensi sumberdaya yang dimilikinya. Tentu saja hal tersebut terdengar seperti sebuah utopia, karena banyak variabel yang harus diperhitungkan. Meski demikian, hal tersebut bukan pula sesuatu yang mustahil.
Kedua, dalam perencanaan pembangunan, hendaknya pemerintah, melalui Bappenas, mulai memikirkan proyek-proyek pembangunan yang bersifat padat karya, dengan tujuan untuk menyerap pengangguran, yang sumber pendanaannya berasal dari penerbitan SUN syariah. Sudah saatnya kita tidak perlu mengemis-ngemis lagi kepada negara-negara kreditor untuk meminta penambahan utang luar negeri dengan bunga yang mencekik APBN. Apalagi kalau sampai menjadikan utang luar negeri sebagai salah satu sumber utama pembiayaan pembangunan dalam APBN.
Untuk itu, pendataan potensi daerah menjadi mutlak dilakukan. Disinilah pentingnya peran pemerintah pusat untuk berkomunikasi secara terbuka dan intensif dengan pemerintah daerah dalam mengembangkan potensi yang dimilikinya, sekaligus merencanakan pembangunan secara lebih tepat dan terarah. Sebagai contoh, di daerah yang memiliki potensi peternakan sapi, pemerintah perlu untuk membangun pabrik pengolahan susu sapi dan produk-produk turunannya, seperti kornet dan makanan kaleng daging sapi lainnya. Sumber pembiayaan pendirian pabrik tersebut bisa saja didapatkan dengan menerbitkan SUN syariah berbasis mudarabah. Atau untuk mengembangkan pertanian di suatu wilayah, pemerintah melalui Deptan perlu menerbitkan SUN syariah berbasis akad salam, sehingga diharapkan produktivitas petani akan semakin meningkat karena mereka akan termotivasi untuk terus berproduksi.
Bisa dibayangkan bagaimana dahsyatnya kekuatan SUN syariah ini. Banyak hal yang dapat dilakukan. Namun demikian, kita masih menunggu bagaimana langkah pemerintahan ini selanjutnya, terutama pasca kunjungan SBY ke Timteng. Mampukah mereka menangkap peluang ini? Wallahu’alam.
*Dosen FEM IPB dan Mahasiswa S3 Ekonomi Syariah IIU Malaysia

Pajak Berganda di Bank Syariah

Pajak ganda yang dikenakan pada transaski murabahah (jual beli) merupakan isu penting yang belum kunjung surut dalam industri perbankan syariah sejak 2002. Karenanya ini akan menjadi pekerjaan rumah (PR) penting Ketua Asbisindo periode 2007-2012, Riawan Amin. Dirut BMI ini menggantikan Wahyu Dwi Agung, dalam musyawarah nasional asosiasi yang berakhir pekan lalu.
Berawal ketika pada akhir 2002, sebuah bank konvensional menyurati Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak yang mengklarifikasi apakah benar transaksi murabahah tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Ditjen Pajak tidak tahu-menahu perihal transaksi murabahah. Setelah melakukan kajian, mereka menyimpulkan bahwa praktik transaksi murabahah adalah transaksi jual beli antara penjual barang kepada bank syariah yang dilanjutkan dengan transaksi jual beli antara bank syariah dan nasabah.
Karena itu, merujuk pada UU no. 8/2000 tentang PPN barang dan jasa serta Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM), perpindahan kepemilikan barang dalam transaksi murabahah pun dikenai PPN dua kali. Pertama saat dianggap telah terjadi penyerahan barang dari penjual kepada bank, kedua saat terjadi peyerahan barang dari bank kepada nasabah.
Surat tersebut memicu perbincangan serius di kalangan perbankan syariah. Mereka berpandangan meskipun memakai prinsip jual beli, pembiayaan murabahah bukan semata-mata transaksi jual beli. Pengenaan PPN ganda dinilai tidak tepat. PPN tersebut dikenakan dua kali dalam transaksi jual beli di bank syariah, yakni saat barang dibeli dan kemudian saat barang diserahkan kepada bank. Aprat pajak juga mengenakan PPN dari keuntungan yang didapat bank dari transaksi jual beli tersebut. Padahal, bank hanya melaksanakan fungsi intermediasi membiayai nasabah untuk membeli barang.
Riawan Amin, sebagai Direktur Utama BMI, sangat peduli dengan masalah pajak ganda. Dalam sebuah wawancara dengan sebuah Koran nasional, dia secara tegas menyampaikan penolakkanya. Bank syariah, menurut Riawan, menganggap kebijakan pajak tersebut tidak tepat karena bank syariah adalah lembaga keuangan yang bebas dari pajak PPN. Karena itu, hingga saat ini Bank Muamalat tetap tidak bersedia membayar PPN itu. "Bank Muamalat sama sekali tidak mau membayar. Silakan saja kalau pemerintah mau menyita," kata Riawan kepada KONTAN.
Masalah serupa juga muncul di penerapan obligasi syariah (sukuk). Ia menyontohkan kegagalan PLN menerbitkan sukuk bagi investor asal Timur Tengah.
Menurutnya, salah satu bank dari Dubai, Uni Emirat Arab, sebagai investor ingin transaksi pembelian sukuk itu dinyatakan sebagai transaksi formalitas. Dengan begitu pajaknya pun harus ditetapkan formalitas juga. Namun masalahnya, UU Perpajakan tidak memungkinkan itu dikarenakan setiap transaksi harus dikenakan pajak. "Karena itu harus ada jalan keluarnya dengan rancangan UU baru," tegas Riawan.
Tak Wajib Bayar PPN
Berdasarkan Undang-Undang nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan, bank konvensional dan shariah termasuk lembaga keuangan. Mestinya, menurut Riawan, kedua lembaga itu tidak terkena kewajiban membayar PPN.
Namun kenyataannya perbankan syariah tetap terkena PPN. Alasan Direktorat Jenderal Pajak, dalam transaksi murabahah ada prinsip jual beli yang lazim terkena PPN.
"Pemerintah memperlakukan bank syariah seolah-olah seperti show room mobil atau penjual material," ujar Riawan kesal.
dari berbagai sumber

Dasar Hukum Pasar Modal Syariah (walah)


Dilihat dari keberadaan peraturan perundang-undangan, saat ini memang belum ada undang-undang khusus pasar modal syariah. RUU Perbankan Syariah juga masih digodok di DPR. Meskipun demikian, praktek investasi secara syariah sudah berjalan sejak pertengahan 1997 melalui instrumen pasar modal berbasis syariah yaitu reksa dana syariah dan obligasi syariah seperti yang dikeluarkan Indosat pada 2002.

Secara formal, peluncuran pasar modal dengan prinsip-prinsip syariah Islam dilakukan pada Maret 2003. Pada kesempatan itu ditandatangani Nota Kesepahaman antara Bapepam dan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), yang dilanjutkan dengan Nota Kesepahaman antara DSN-MUI dengan SROs (Self Regulatory Organizations).

Sebelumnya, pada 3 Juli 2000, BEJ mengeluarkan daftar perusahaan yang tercantum dalam bursa yang sesuai dengan syariah Islam atau saham-saham yang tercatat di Jakarta Islamic Index (JII), dimana saham-saham yang tercantum di dalam indeks ini sudah ditentukan oleh Dewan Syariah. Untuk bisa masuk dalam JII antara lain perusahaan tidak boleh bergerak di bidang tembakau, alkohol, perjudian, pelacuran, pornografi, makanan dan minuman yang diharamkan, lembaga keuangan ribawi dan lain-lain.

Meskipun sampai saat ini peraturan yang bisa mengakomodasi penerapan prinsip syariah di pasar modal Indonesia belum ada, namun pada prinsipnya struktur pasar modal syariah sama dengan pasar modal konvensional. Beberapa hal yang sama antara lain konsep penerbitan obligasi, reksadana, dan lainnya, selama mengikuti prinsip-prinsip syariah.

Perbedaannya adalah khusus masalah syariah misalnya tentang kegiatan usaha perusahaan karena syariah menghendaki kegiatan ekonomi yang halal, baik produk yang menjadi objek, cara perolehannya, maupun cara penggunaannya.

Sebenarnya, banyak prinsip-prinsip syariah terkandung dalam peraturan perundangan yang sudah ada. Misalnya, prinsip ridho sama ridho yang ada dalam syariah juga terkandung dalam pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mensyaratkan adanya kesepakatan para pihak dalam membuat sebuah perjanjian.

Untuk pelaksanaan investasi secara syariah, secara khusus DSN-MUI telah menetapkan dalam fatwanya tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi untuk Reksa Dana Syariah dan jenis emiten yang sahamnya tidak diperkenankan sebagai portofolio pada reksa dana syariah. Sampai dengan saat ini, Bapepam telah memberikan pernyataan efektif kepada 13 reksa dana syariah. Namun demikian, dari 13 reksa dana ini 2 diantaranya telah bubar.

Dewan Syariah Nasional (DSN) atau Al-Hai`ah as-Syar`iyah al-Wathaniyah alias National Sharia Board adalah sebuah institusi di bawah Majelis Ulama Indonesia yang dibentuk pada awal tahun 1999. Lembaga betugas untuk menggali, mengkaji dan merumuskan nilai dan prinsip-prinsip hukum Islam (syari`ah) untuk dijadikan pedoman dalam kegiatan transaksi di lembaga-lembaga keuangan syari`ah serta mengawasi pelaksanaan dan implementasinya.

Anggota lembaga ini adalah para ahli hukum Islam serta praktisi ekonomi terutama sektor keuangan , baik bank maupun non bank yang berfungsi untuk menjalankan tugas-tugas Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dalam pelaksanaannya, lembaga ini dibantu dengan Badan Pelaksana Harian DSW (BPH-DSN) yang melakukan penelitian, penggalian dan pengkajian.

Kemudian setelah dianggap cukup memadai, hasil kajian itu dituangkan dalam bentuk rancangan fatwa DSN. Rancangan fatwa ini selanjutnya dibawa dalam rapat pleno pengurus DSN untuk dibahas. Kemudian diputuskan menjadi fatwa DSN. Finalisasi fatwa ini terutama dari aspek redaksional, ditangani oleh tim penyusun dari BPH-DSN.

Demikianlah semoga bermanfaat.
(Bung Pokrol)

Hikmah Shalat Tahajud

bisa atasi kanker
Sebuah penelitian ilmiah membuktikan, shalat tahajjud membebaskan seseorang dari pelbagai penyakit. Berbahagialah Anda yang rajin shalat tahajjud. Di satu sisi pundi-pundi pahala Anda kian bertambah, di sisi lain, Anda pun bisa memetik keuntungan jasmaniah. Insya Allah, Anda bakal terhindar dari pelbagai penyakit . Itu bukan ungkapan teoritis semata, melainkan sudah diuji dan dibuktikan melalui penelitian ilmiah. Penelitinya dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya, Mohammad Sholeh, dalam usahanya meraih gelar doktor. Sholeh melakukan penelitian terhadap para siswa SMU Lukmanul Hakim Pondok Pesantren Hidayatullah Surabaya yang secara rutin memang menunaikan shalat tahajjud.
Ketenangan
Shalat tahajjud yang dilakukan di penghujung malam yang sunyi, kata Sholeh, bisa mendatangkan Ketenangan. Sementara ketenangan itu sendiri terbukti mampu meningkatkan ketahanan tubuh imunologik, mengurangi resiko terkena penyakit jantung dan meningkatkan usia harapan hidup. Sebaliknya, bentuk-bentuk tekanan mental seperti Stres maupun Depresi membuat seseorang rentan terhadap berbagai penyakit, infeksi dan mempercepat perkembangan sel kanker serta meningkatkan metastasis (penyebaran sel kanker). Tekanan mental itu sendiri terjadi akibat gangguan irama sirkadian (siklus bioritmik manusia) yang ditandai dengan peningkatan Hormon Kortisol. Perlu diketahui, Hormon Kortisol ini biasa dipakai sebagai tolok ukur untuk mengetahui kondisi seseorang apakah jiwanya tengah terserang stres, depresi atau tidak. Untungnya, kata Sholeh, Stres Bisa Dikelola. Dan pengelolaan itu bisa dilakukan dengan cara edukatif atau dengan cara Teknis Relaksasi atau Perenungan/Tafakur dan umpan balik hayati (bio feed back). "Nah, shalat tahajjud mengandung aspek meditasi dan relaksasi sehingga dapat digunakan sebagai coping mechanism atau pereda stres yang akan meningkatkan ketahanan tubuh seseorang secara natural", jelas Sholeh dalam disertasinya berjudul Pengaruh Shalat Tahajjud Terhadap Peningkatan Perubahan Respon Ketahanan Tubuh Imunologik.
Tahajjud harus secara Ikhlas & Kontinyu
Namun pada saat yang sama, shalat tahajjud pun Bisa Mendatangkan Stres, terutama bila Tidak Dilaksanakan Secara Ikhlas dan Kontinyu. "Jika tidak dilaksanakan dengan ikhlas, bakal terjadi kegagalan dalam menjaga homeostasis atau daya adaptasi terhadap perubahan pola irama pertumbuhan sel yang normal, tetapi jika dijalankan dengan ikhlas dan kontinyu akan sebaliknya", katanya kepada Republika. Dengan begitu, keikhlasan dalam menjalankan shalat tahajjud menjadi sangat penting. Selama ini banyak kiai, dan intelektual berpendapat bahwa ikhlas adalah persoalan mental-psikis. Artinya, hanya Allah swt yang mengetahui dan mustahil dapat dibuktikan secara ilmiah. Namun lewat penelitiannya, Sholeh berpendapat lain. Ia yakin, secara medis, ikhlas yang dipandang sebagai sesuatu yang misteri itu bisa dibuktikan secara kuantitatif melalui indikator sekresi hormon kortisol. "Keikhlasan Anda dalam shalat tahajjud dapat dimonitor lewat irama sirkadian, terutama pada sekresi hormon kortisolnya", kata pria yang meraih gelar doktor pada bidang psikoneoroimunologi dari Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga ini. Dijelaskan Sholeh, jika ada seseorang yang merasakan sakit setelah menjalankan shalat tahajjud, besar kemungkinan itu berkaitan dengan niat yang tidak ikhlas, sehingga gagal terhadap perubahan irama sirkadian tersebut. Gangguan adaptasi itu tercermin pada sekresi kortisol dalam serum darah yang seharusnya menurun pada malam hari. Apabila sekresi kortisol tetap tinggi, maka produksi respon imunologik akan menurun sehingga berakibat munculnya gangguan kesehatan pada tubuh seseorang. Sedangkan sekresi kortisol menurun, maka indikasinya adalah terjadinyaproduksi respon imunologik yang meningkat pada tubuh seseorang. Niat yang tidak ikhlas, kata Sholeh, akan menimbulkan Kekecewaan, Persepsi Negatif, dan Rasa Tertekan. Perasaan negatif dan tertekan itu menjadikan seseorang rentan terhadap serangan stres. Dalam kondisi stres yang berkepanjangan yang ditandai dengan tingginya sekresi kortisol, maka hormon kortisol itu akan bertindak sebagai imunosupresif yang menekan proliferasi limfosit yang akan mengakibatkan imunoglobulin tidak terinduksi. Karena imunoglobulin tidak terinduksi maka sistem daya tahan tubuh akan menurun sehingga rentan terkena infeksi dan kanker. Kanker, seperti diketahui, adalah pertumbuhan sel yang tidak normal. "Nah, kalau melaksanakan shalat tahajjud dengan ikhlas dan kontinyu akan dapat merangsang pertumbuhan sel secara normal sehingga membebaskan pengamal shalat tahajjud dari berbagai penyakit dan kanker (tumor ganas)," kata alumni Pesantren Lirboyo Kediri Jatim ini. Menurutnya, shalat tahajjud yang dijalankan dengan tepat, kontinyu, khusuk, dan ikhlas dapat menimbulkan persepsi dan motivasi positif sehingga menumbuhkan coping mechanism yang efektif. Sholeh menjelaskan, respon emosional yang positif atau coping mechanism dari pengaruh shalat tahajjud ini berjalan mengalir dalam tubuh dan diterima oleh batang otak. Setelah diformat dengan bahasa otak, kemudian ditrasmisikan ke salah satu bagian otak besar yakni Talamus. Kemudian, Talamus menghubungi Hipokampus (pusat memori yang vital untuk mengkoordinasikan segala hal yang diserap indera) untuk mensekresi GABA yang bertugas sebagai pengontrol respon emosi, dan menghambat Acetylcholine, serotonis dan neurotransmiter yang lain yang memproduksi sekresi kortisol. Selain itu, Talamus juga mengontak prefrontal kiri-kanan dengan mensekresi dopanin dan menghambat sekresi seretonin dan norepinefrin. Setelah terjadi kontak timbal balik antara Talamus-Hipokampus-Amigdala-Prefrontal kiri-kanan, maka Talamus mengontak ke Hipotalamus untuk mengendalikan sekresi kortisol.

Rabu, 05 Desember 2007

Tujuan Ekonomi Syariah
Dalam segenap aspek kehidupan bisnis dan transaksi, dunia Islam mempunyai sistem perekonomian yang berbasiskan nilai-nilai dan prinsip-prinsip syariah yang bersumber dari Al Quran dan Hadits serta dilengkapi dengan Al Ijma dan Al Qiyas. Sistem perekonomian Islam, saat ini lebih dikenal dengan istilah Sistem Ekonomi Syariah. Berdasarkan beberapa literatur dapat disimpulkan, bahwa Sistem Ekonomi Syariah mempunyai beberapa tujuan, yakni:
1. Kesejahteraan Ekonomi dalam kerangka norma moral Islam (dasar pemikiran QS. Al-Baqarah ayat 2 & 168, Al-Maidah ayat 87-88, Al-Jumu’ah ayat 10);
2. Membentuk masyarakat dengan tatanan sosial yang solid, berdasarkan keadilan dan persaudaraan yang universal (Qs. Al-Hujuraat ayat 13, Al-Maidah ayat 8, Asy-Syu’araa ayat 183)
3. Mencapai distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil dan merata (QS. Al-An’am ayat 165, An-Nahl ayat 71, Az-Zukhruf ayat 32);
4. Menciptakan kebebasan individu dalam konteks kesejahteraan sosial (QS. Ar-Ra’du ayat 36, Luqman ayat 22).

Salah satu teori ekonomi syariah yang dikembangkan oleh ahli pemikir Islam, Ibnu Khaldun, berupa sebuah rumusan berupa kebijaksanaan politik pembangunan, mungkin, dapat diaplikasikan dalam perkembangan Ilmu Ekonomi Islam saat ini. Rumusan Ibnu Khaldun tersebut dikenal sebagai “Dynamic Model of Islam” atau Model Dinamika. Model Dinamika adalah sebuah rumusan yang terdiri dari delapan prinsip kebijaksanaan politik yang terkait dengan prinsip yang lain secara interdisipliner dalam membentuk kekuatan bersama dalam satu lingkaran sehingga awal dan akhir lingkaran tersebut tidak dapat dibedakan, terdiri atas:
1. Kekuatan pemerintah tidak dapat diwujudkan kecuali dengan implementasi Syariah;
2. Syariah tidak dapat dilaksanakan kecuali dengan pemerintahan;
3. Pemerintah tidak dapat memperoleh kekuasaan kecuali dari rakyat;
4. Masyarakat tidak dapat ditopang kecuali oleh kekayaan;
5. Kekayaan tidak dapat diperoleh kecuali dari pembangunan;
6. Pembangunan tidak dapat dicapai kecuali melalui keadilan;
7. Keadilan merupakan standar yang akan dievaluasi Allah pada umat-Nya;
8. Pemerintah dibebankan dengan adanya tanggung jawab untuk mewujudkan keadilan.

Masyarakat dalam sebuah pemerintahan sesuai kodratnya merupakan manusia yang lebih suka hidup secara bersama. Hal ini disebabkan dengan kapasitas individu yang ada, manusia tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan pokok guna mempertahankan kehidupan mereka dalam masyarakat. Oleh karena itu, mereka sangat membutuhkan suasana kehidupan yang saling menolong dan bekerjasama. Akan tetapi, mereka tidak dapat hidup berdampingan dan bekerjasama dengan yang lain dalam suasana penuh konflik dan permusuhan serta ketidakadilan. Untuk itu diperlukan adanya sebuah “rasa kebersamaan” dan “pemerintah” sebagai pengendali kekuasaan untuk mencegah terjadinya konflik dan ketidakadilan guna mempersatukan mereka.

Dalam ajaran welfare state Islami, mengupayakan agar setiap orang mengikuti ajaran Syariah dalam urusan duniawi mereka merupakan hal yang penting. Negara harus tetap mengawasi semua tingkah laku yang dapat membahayakan pembangunan sosial ekonomi seperti ketidakjujuran, penipuan, dan ketidakadilan sebagai prasyarat kualitas yang dibutuhkan untuk keharmonisan sosial dan pembangunan berdasarkan keadilan. Selain itu, negara harus menjamin pemenuhan hukum dan menghormati hak milik individu serta menanamkan kesadaran kepada seluruh lapisan masyarakat.

Apabila pemerintah melaksanakan peranannya secara efektif, maka akan menjadi sebuah kontribusi positif dalam pembangunan karena kebutuhan masyarakat akan terpenuhi, sehingga mereka akan termotivasi melalui kerja keras yang cermat dan efisien. Namun, jika hal itu tidak terlaksana, maka yang terjadi adalah kehancuran. Sumber daya yang dibutuhkan negara untuk kepentingan itu, diperoleh melalui sistem pajak yang adil dan efisien. Di samping itu, perlu dicermati bahwa apabila, jika pemerintah tidak menerapkan nilai-nilai syariah secara efisien, maka tidak akan ada keadilan. Jika tidak ada keadilan, maka “rasa kebersamaan” tidak akan ada, dan jika tidak ada “rasa kebersamaan”, maka tidak akan ada lingkungan yang mendukung terlaksananya implementasi Syariah, hukum dan perundang-undangan, pembangunan dan kemakmuran. Ketiadaan semua itu, akan membuat administrasi pemerintah menjadi lemah dan tidak efektif.

Konsep Ibnu Khaldun dalam “Model Dinamika” menyatakan bahwa negara harus berorientasi kepada kesejahteraan rakyat, memiliki kebijakan anggaran, menghargai hak milik masyarakat, dan menghindari pungutan pajak yang memberatkan. Negara akan mengutamakan pembangunan melalui anggaran yang dihasilkan dari kebijakan yang adil, dan sebaliknya negara akan menghambat pembangunan dengan memperlakuan sistem pajak dan kebijakan yang tidak adil. Negara merupakan suatu pasar terbesar yang dihasilkan dari anggaran negara tersebut untuk kesejahteraan rakyatnya. Untuk itu, negara tidak perlu terlibat secara langsung sebagai pelaku pasar, namun harus melakukan hal-hal yang dapat membantu masyarakat menjalankan usaha mereka secara lebih efisien dan mencegah masyarakat untuk melakukan tindakan yang tidak adil secara berlebihan.

Menurut David C. Korten dalam The Post-Corporate World; Life After Capitalism (1999) dan Joseph E. Stiglitz dalam Globalization and Its Discontents (2002), pasar yang berhasil, mensyaratkan adanya keseimbangan peran antara pemerintah dan pasar. Keseimbangan tersebut mungkin berbeda dari satu negara dengan negara lain dan dari waktu ke waktu, juga antara satu sektor dengan sektor lainnya, serta dari satu masalah dengan masalah lain. Tercapainya keseimbangan itu mensyaratkan adanya kejelasan mengenai apa yang harus dilakukan oleh masing-masing dan bagaimana cara melakukannya. Intervensi pemerintah diperlukan untuk memastikan bahwa kepentingan publik juga terperhatikan.

Namun keadaan sebaliknya terjadi pada saat ini. Era ekonomi baru dengan rezim perdagangan bebas, mengharuskan minimalisasi peran pemerintah suatu negara dalam mengatur perekonomian suatu negara. Kebijakan-kebijakan pemerintah yang ikut campur dalam perekonomian dianggap telah menghambat pasar bahkan laju perekonomian. Dengan demikian, deregulasi dianggap sebuah kewajiban bagi rezim perdagangan bebas. Para penyokong rezim perdagangan bebas, mempromosikan, mengurangi regulasi berarti membiarkan kekuatan pasar bekerja. Kekuatan pasar akan menghasilkan lebih banyak efisiensi. Manfaat kekuatan pasar, melalui kompetisi, akan mengalir langsung ke konsumen dan masyarakat luas. Dengan demikian, menurut mereka, perlu dilakukan deregulasi-deregula si perekonomian, termasuk sektor-sektor strategis yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak.

Deregulasi-deregula si yang dilakukan secara otomatis mengurangi peran pemerintah dalam mengatur perekonomian yang dibutuhkan oleh semua golongan. Pihak yang diuntungkan terutama golongan pemilik modal atau eksekutif korporasi global. Para penganjur deregulasi, yakin bahwa semakin ramping pemerintahan dan semakin rendah tarif pajak akan semakin baik bagi perekonomian. Menurut mereka, uang yang dibelanjakan oleh pemerintah umumnya terbuang mubazir, sedangkan jika digunakan oleh sektor swasta akan termanfaatkan dengan baik.

Pandangan yang menyetujui peran minimalis pemerintah didasari oleh sebuah ideologi simplistic yang dikenal sebagai “fundamentalisme pasar”. Secara umum ideologi ini menyatakan bahwa pasar dengan sendirinya stabil dan efisien. Akan tetapi ideologi tersebut tanpa landasan teori ekonomi yang dapat diterima. Pasar yang stabil dan efisien akan terwujud, menurut teori, jika ada informasi yang sempurna, kompetisi sempurna, pasar yang lengkap, dan lainnya yang tidak pernah ada di negara paling maju sekalipun. Kenyataan yang terjadi, adalah, pasar seringkali tidak berjalan baik. Pasar sering menyebabkan terjadinya pengangguran. Pasar tidak bisa dengan sendirinya memberikan jaminan terhadap berbagai risiko penting yang dihadapi perorangan, termasuk risiko menganggur.

Pasar adalah alat untuk meraih tujuan, terutama, standar hidup yang lebih tinggi. Pasar bukanlah tujuan itu sendiri, sehingga langkah-langkah kebijakan yang digencarkan seperti privatisasi dan liberalisasi, janganlah dipandang sebagai tujuan, melainkan sebagai alat. Menurut Stiglitz, meskipun tujuan pasar itu sempit (hanya menyangkut kesejahteraan material, bukan nilai-nilai keadilan sosial), pasar bebas seringkali gagal mencapai tujuan-tujuan yang sempit sekalipun. Era 1990-an menunjukkan pasar tidak bisa menjamin stabilitas, sementara pada era 1970-an dan 1980-an, pasar tidak bisa menimbulkan pertumbuhan tinggi, bahkan kemiskinan meningkat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi.

Awal-awal millennium, menunjukkan kondisi bahwa pasar bukan hanya tidak mampu menciptakan lapangan kerja yang memadai untuk menampung pendatang baru dalam angkatan kerja. Namun lebih dari yaitu, yakni juga tidak mampu mengimbangi berkurangnya pekerjaan yang ada akibat meningkatnya produktivitas. Pengangguran menunjukkan kegagalan pasar yang paling dramatis sebab menjadikan sumber daya yang paling berharga menjadi mubazir.

Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)

Selasa, 04 Desember 2007

Target Pengembangan Aset Bank Syariah Sulit Tercapai


TEMPO Interaktif, Jakarta:Bank Indonesia mendesak perbankan syariah memperjelas strategi bisnis untuk meningkatkan kinerja tahun depan. Target asset share 2008 sebesar 5 persen dari perbankan nasional dinilai sukar tecapai.

Deputi Gubernur Bank Indonesia Siti Chalimah Fadjrijah mengatakan, meski kinerja perbankan syariah 2007 cukup baik, tapi jumlah pengguna layanan syariah tetap tak signifikan.

Pengguna fasilitas bank syariah hingga saat ini baru 2,6 juta nasabah. Jumlah debitor syariah juga masih di bawah 500 ribu.

"Ini masih jauh dari jumlah penduduk potensial," kata Fadjrijah dalam Seminar 'Outlook dan Arah Kebijakan Perbankan Syariah 2008' di Gedung BI, Rabu (28/11).

Fadjrijah memaparkan, secara umum, kinerja perbankan syariah terus membaik. Rata-rata pertumbuhan melampaui 30 persen, baik dari sisi total aset, dana pihak ketiga (DPK), maupun pembiayaan. Bahkan, kata dia, rasio pembiayaan terhadap DPK atau financing to deposite ratio mencapai 102,35 persen.

Jauh lebih tinggi dibandingkan rasio kredit terhadap dana pihak ketiga (loan to deposit ratio) bank konvensional yang hanya 67 persen. "Ini bukti bank syariah terkait sektor riil," cetusnya.

Tapi, Fadjrijah menambahkan, kelemahan utama bank syariah selama ini adalah tak tahu persis apa yang dibutuhkan nasabah. Dia menilai strategi masing-masing bank yang tak sesuai kebutuhan pengguna layanan. "Padahal, banyak potensi pengguna layanan syariah yang bisa digarap," keluh Fadjrijah.

Dia mencontohkan, data Badan Pusat Statistik menunjukkan jumlah usaha kecil dan menengah saat ini mencapai 42 juta unit usaha. Sebanyak 38 persen dari jumlah itu telah dibiayai bank konvensional. "Sisanya itu kan potensi bagi bank syariah," ucapnya.

Menurut dia, hingga Oktober 2007, aset perbankan syariah baru mencapai Rp 33 triliun. Padahal, untuk mencapai target asset share 5 persen dari perbankan nasional, aset bank syariah harus naik 90 persen.

"Perbankan syariah harus kerja tiga kali lipat, atau bahkan lima kali lipat, jika memang ingin target itu terwujud," cetusnya. AGOENG WIJAYA

http://www.tempointeraktif.com

Menyambut Organisasi Zakat Dunia

Salah satu peristiwa penting yang terjadi akhir tahun 2006 lalu adalah terciptanya kesepakatan di antara 14 negara Muslim untuk menginisiasi proses pembentukan organisasi zakat internasional. Dalam pertemuan yang berlangsung di Kuala ! Lumpur, Malaysia pada akhir November 2006 lalu, 14 negara meliputi Arab Saudi, Yordania, Turki, Suriah, Uni Emirat Arab, Qatar, Pakistan, Yaman, Bahrain, Mesir, Iran, Brunei, Malaysia dan Indonesiasepakat untuk mengoptimalkan institusi zakat sebagai in strumen untuk mengatasi berbagai problem ekonomi, terutama masalah kemiskinan, yang membelit banyak negara anggota OKI. Saat ini, jumlah umat Islam yang hidup dalam keadaan miskin mencapai 39 persen atau sekitar 580 juta jiwa di seluruh dunia.

Perlu disadari bahwa upaya untuk meningkatkan kesejahteraan negara-negara Muslim di dunia haruslah berawal dari tekad dan komitmen dunia Islam itu sendiri. Tidak bisa kita menggantungkan harapan kepada belas kasih dan bantuan kekuatan-kekuatan lain, teru tama negara-negara Barat. Data 2005 yang dirilis Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), yang beranggotakan negara-negara maju di dunia, terlihat komitmen dana bantuan pembangunan untuk dunia ketiga masih san! gat kecil. Bahkan nilainya rata-rata kurang dari 1 persen dari total GNP mereka.

Karena itulah, penulis memandang inisiatif PM Malaysia, Abdullah Badawi, dengan sokongan IDB dan Islamic Chambers of Commerce and Industry (ICCI) untuk meluncurkan gagasan penyegeraan pembentukan organisasi zakat internasional merupak an sesuatu yang patut kita dukung. Alhamdulillah, Indonesia melalui Menag Maftuh Basyuni pun telah menyatakan dukungan dan komitmennya. Tinggal bagaimana sekarang keempat belas negara yang menyepakati hal tersebut melakukan langkah-langkah yang l ebih konkret sehingga organisasi yang dimaksud bisa didirikan pada 2007 ini.

Potensi zakat dunia
Kalau kita cermati, potensi zakat dunia Islam ternyata cukup besar. Hal tersebut berdasarkan asumsi bahwa besarnya zakat yang dapat dikum pulkan adalah sebesar 2,5 persen dari total GDP. Dengan asumsi tersebut, Arab Saudi, sebagai contoh, memiliki potensi zakat hingga 5,4 miliar dolar AS atau Rp 48,6 triliun (1 dolar AS sama dengan Rp 9 ribu). Sedangkan Turki, memil! iki potensi yang lebih besar lagi, yaitu sebesar 5,7 miliar dolar AS atau senilai Rp 51,3 triliun rupiah. Sedang Indonesia memiliki potensi hingga 4,9 miliar dolar AS (Rp 44,1 triliun).

Namun demikian, fakta menunjukkan kondisi yang sangat iron is. Hingga saat ini belum ada satu negara Islam pun yang mampu mengumpulkan zakat hingga 2,5 persen dari total GDP mereka. Malaysia saja pada tahun lalu hanya mampu mengumpulkan zakat senilai 600 juta ringgit (Rp 1,5 triliun), atau sekitar 0,16 persen d ari total GDP. Begitu pun dengan negara kita yang hanya mampu mengumpulkan Rp 800 miliar atau hanya 0,045 persen dari total GDP. Secara umum, negara-negara Teluk pun hanya mampu mengumpulkan zakat rata-rata 1 persen dari GDP.

Agenda strategis
Ada dua agenda yang mendesak dilakukan untuk memperkuat eksistensi dan kedudukan organisasi zakat internasional. Pertama, memperkuat infrastruktur di masing-masing negara Islam. Infrastruktur yang dimaksud juga menc! akup aspek regulasi dan peraturan, pendidikan dan SDM, serta sarana da n prasarana lain yang dibutuhkan, termasuk sosialisasi dan kampanye zakat yang intensif.

Dalam aspek regulasi dan peraturan misalnya, kedudukan lembaga zakat di suatu negara harus diperkuat. Kalau kita melihat Malaysia, maka negara-negara bagian yang ada di Malaysia memiliki pusat zakat yang kuat secara hukum dan politik, serta mendapat dukungan penuh pemerintah. Dukungan itu antara lain dalam bentuk pengalokasian anggaran negara, penerapan kebijakan ‘zakat sebagai pengurang pajak’ secara nyata di lapangan, dan pemberian kemudahan akses bagi muzakki untuk membayar zakat. Kemudian, dukungan lainnya berupa penyusunan database yang valid mengenai jumlah muzakki dan mustahik.

Selanjutnya, kalau kita melihat neg ara-negara Arab, maka pada umumnya status kelembagaan yang mengelola zakat adalah setingkat kementerian. Sebagai contoh adalah Kuwait dan Qatar. Ini menunjukkan besarnya perhatian terhadap institusi zakat yang ada. Kita berharap I! ndonesia dapat mengambil pelajaran dari Malaysia dan dunia Arab dalam memperkuat institusi zakatnya.

Status Baznas hendaknya ditingkatkan menjadi kementerian. Bahkan beberapa praktisi zakat mengusulkan kalau memang dianggap memberatkan anggara n negara, maka kementerian zakat ini tidak perlu dibiayai APBN. Yang terpenting diberikan kekuatan untuk ‘memaksa’ muzakki membayar zakat. Mereka berargumen bahwa selama ini pun, seluruh lembaga zakat yang ada telah mampu berkiprah secara mandiri . Fakta pun membuktikan, meskipun dana zakat yang terhimpun masih kecil, tetapi manfaatnya dapat dirasakan secara nyata oleh masyarakat.

Agenda kedua adalah menciptakan mekanisme penghimpunan dan pendayagunaan zakat serta koordinasi antar negara Islam. Salah satu tujuan dibentuknya organisasi zakat internasional ini adalah teralirkannya dana zakat dari negara-negara surplus zakat ke negara-negara minus zakat. Untuk itu perlu dibuat aturan yang jelas mengenai kriter! ia dan mekanisme aliran dana tersebut.

Jika aliran dana ters ebut ditentukan berdasarkan program yang diajukan, maka indikator dan kriteria program yang dapat diajukan pun harus jelas. Jika mekanisme ini disepakati, maka Indonesia dapat memanfaatkan peluang yang ada dengan membuat berbagai proyek percontohan pemb erdayaan kaum dhuafa. Yang juga tidak kalah penting adalah menentukan share masing-masing negara dalam proses penghimpunan dana zakat. Penulis berkeyakinan, organisasi zakat ini jika terbentuk, akan memiliki peran yang sangat strategis dan vital dalam mengembangkan perekonomian umat di masa mendatang.

Oleh: Irfan Syauqi Beik, Msc

zakat

URGENSI KEMENTERIAN ZAKAT DAN WAKAF Cetak halaman ini Kirim halaman ini ke teman via E-mail


Menarik sekali jika kita cermati pembahasan Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang tentang Kementerian Negara—atau yang lebih dikenal dengan sebutan Pansus RUU Kementerian Negara DPR RI—beberapa waktu lalu, dimana telah disepakati sejumlah pos kementerian negara, baik yang bersifat portofolio maupun non portofolio. Secara keseluruhan, Pansus telah membahas 31 kementerian negara, mencakup 21 kementerian negara portofolio dan 10 kementerian negara non portofolio. Menarik sekali jika kita cermati pembahasan Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang tentang Kementerian Negara—atau yang lebih dikenal dengan sebutan Pansus RUU Kementerian Negara DPR RI—beberapa waktu lalu, dimana telah disepakati sejumlah pos kementerian negara, baik yang bersifat portofolio maupun non portofolio. Secara keseluruhan, Pansus telah membahas 31 kementerian negara, mencakup 21 kementerian negara portofolio dan 10 kementerian negara non portofolio. Menurut rencana, pembahasan tersebut akan dirampungkan pada masa persidangan akhir DPR RI periode 1999-2004, yaitu pada bulan September 2004 ini. Dengan demikian, maka Presiden RI mendatang tidak akan dengan mudah merubah atau mengotak-atik susunan kementerian yang ada sesuai dengan kepentingan pribadinya. Penulis tidak bermaksud mengomentari susunan kementerian yang ada, tetapi penulis ingin melemparkan sebuah gagasan kementerian baru yang mungkin luput dari perhatian Pansus, yaitu kementerian zakat dan wakaf. Penulis menyadari bahwa gagasan ini bisa saja menimbulkan pro dan kontra, namun paling tidak, para anggota Pansus diharapkan berkenan untuk mempertimbangkan usulan ini. Potensi Zakat & Wakaf yang luar biasa
Jika kita telaah secara cermat, maka dapat disimpulkan bahwa potensi zakat dan wakaf di Indonesia sangatlah besar. Berdasarkan data yang ada, potensi zakat di negeri ini mencapai 7 trilliun setiap tahunnya. Belum lagi ditambah dengan potensi wakaf, terutama wakaf tunai, yang dapat digunakan untuk melakukan berbagai aktivitas yang produktif, termasuk mengentaskan problematika kemiskinan di Indonesia. Kita mengetahui bahwa masalah kemiskinan merupakan salah satu masalah utama yang dihadapi bangsa Indonesia. Tidak kurang dari 7 persen penduduk Indonesia hidup dengan pendapatan per kapita dibawah 1 dolar AS setiap harinya, dan sekitar 50 persen lainnya hidup dengan tingkat pendapatan per kapita kurang dari 2 dolar AS setiap harinya. Padahal, kalau kita melihat potensi kekayaan alam Indonesia, maka sesungguhnya kita memiliki kekayaan alam yang luar biasa. Demikian besarnya potensi kekayaan alam kita, sampai-sampai—meminjam istilah Jaya Suprana—rumput pun bisa dijadikan sebagai sumber bisnis. Namun demikian, akibat salah urus dan salah kelola, segala potensi yang hebat itu belum dapat dimanfaatkan dan dioptimalkan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Untuk itu, segala potensi yang dapat memungkinkan terbebaskannya bangsa ini dari himpitan masalah ekonomi, harus menjadi prioritas kita bersama. Diantara potensi tersebut adalah potensi zakat dan wakaf yang sedemikian besar, namun belum mendapat perhatian yang memadai. Padahal, menurut penulis, jika saja dana zakat dan wakaf ini mampu dikelola dengan baik, maka paling tidak, akan mampu mereduksi tingkat kemiskinan di Indonesia. Malaysia pun telah membuktikan, bahwa pengelolaan zakat yang tepat dan terpadu mampu membantu upaya pengentasan kemiskinan yang ada. Kita pun menyadari bahwa masalah kemiskinan ini adalah masalah pelik yang harus dijadikan sebagai musuh bersama bangsa ini. Bahkan menurut Juan Somavia, salah seorang ekonom, bahwa â€Å“the unfinished business of the 21st century is the eradication of povertyâ€? (United Nations World Summit for Social Development, 1995). Masalah kemiskinan telah menjadi momok yang menakutkan dunia, apalagi jika melihat fakta, bahwa sekitar 1,2 milyar populasi dunia hidup dengan pendapatan dibawah 1 dolar per hari dan hampir 2,8 milyar lainnya hidup dengan pendapatan dibawah 2 dolar per hari. Sungguh merupakan angka yang mengerikan. Sementara ketimpangan semakin menjadi-jadi, dimana 15 persen penduduk dunia menghasilkan pendapatan 80 persen dari total pendapatan dunia, sedangkan 85 persen lainnya hanya menerima penghasilan 20 persen saja (Michael P Todaro, 2002). Kembali berbicara mengenai kondisi Indonesia, menurut penulis, sudah saatnya pemerintah lebih memperhatikan potensi dalam negeri didalam upaya mengentaskan kemiskinan. Momentum pemilihan langsung Presiden / Wapres ini harus dijadikan sebagai titik tolak penegakan komitmen pemberantasan kemiskinan yang semakin akut di negara ini. Untuk itu, presiden mendatang harus menjadikan agenda pemberantasan kemiskinan sebagai agenda utama kabinet, disamping agenda lain tentunya seperti pemberantasan korupsi. Sektor zakat dan wakaf harus mendapat tempat yang layak dalam program kerja pemerintah nantinya. Zakat merupakan alat yang menjamin terjadinya aliran kekayaan dari kelompok the have kepada kelompok the have not. Ajaran Islam sendiri sangat mengecam konsentrasi kekayaan ditangan segelintir kelompok kaya dan elite penguasa. Islam berupaya mendorong terjadinya distribusi pendapatan dan kekayaan yang lebih berkeadilan. Memang, kaya miskin adalah sunnatullah. Siapapun tidak akan bisa berpaling dari kenyataan ini. Tetapi hal ini bukan berarti kelompok elite bisa dengan sedemikian mudahnya mengendalikan peredaran kekayaan dan aset agar berputar di lingkaran mereka saja. Perlu ada mekanisme khusus yang mampu menciptakan kucuran aset pada kelompok miskin. Disinilah urgensinya zakat. Oleh karena itu, pemerintah dan DPR harus memiliki komitmen kuat didalam pemberdayaan zakat di Indonesia. Argumentasi kementerian zakat & wakaf
Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi usulan agar kementerian zakat dan wakaf ini dimasukkan kedalam pembahasan Pansus RUU Kementerian Negara. Pertama, mayoritas penduduk bangsa Indonesia adalah ummat Islam. Dalam logika demokrasi, maka kepentingan mayoritas adalah sebuah keniscayaan yang perlu diakomodasi, walaupun tetap dengan tidak mengabaikan hak-hak minoritas. Sebagai umat mayoritas, sudah sepantasnyalah pemerintah memberikan perhatian yang lebih. Apalagi jika kita mau jujur, mayoritas penduduk miskin di negara kita adalah umat Islam. Daerah-daerah atau wilayah-wilayah yang menjadi kantong kemiskinan adalah wilayah yang didiami oleh mayoritas umat Islam. Kedua, dengan jumlah potensi dana zakat yang sedemikian besar, maka sudah sewajarnyalah jika status institusi yang mengelola zakat dapat setingkat kementerian negara. Diharapkan dengan hal tersebut, maka segala hambatan regulasi dan birokrasi, maupun teknis operasional dapat diminimalisir. Sebagai contoh adalah ketentuan yang mengatur zakat sebagai pengurang pajak, yang hingga saat ini masih belum jelas implementasinya. Diharapkan melalui koordinasi langsung antara kementerian keuangan dengan kementerian zakat, maka mekanisme pelaksanaannya dapat diatur lebih jelas dan lebih tepat sasaran, misalnya dalam bentuk Peraturan Pemerintah. Memang kita telah memiliki BAZNAS sebagai konsekuensi dari UU No. 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat. Namun bagi penulis, itu saja belum cukup. Perlu status institusi yang lebih tinggi, yaitu dalam bentuk kementerian negara. Ketiga, dengan adanya kementerian ini, maka diharapkan akan menimbulkan komitmen yang lebih kuat didalam upaya penggalian potensi zakat yang belum tergarap, dan akan membuat undang-undang dan aturan lain yang terkait dengan zakat menjadi lebih bermakna. Kementerian inipun nantinya, dengan bekerjasama dengan institusi penegak hukum yang ada, diharapkan mampu mendorong proses penegakan hukum terhadap pihak-pihak yang secara hukum telah terkategorikan sebagai wajib zakat (muzakki), namun tidak memiliki komitmen untuk menunaikan kewajibannya. Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana dengan kedudukan BAZNAS yang sudah ada, termasuk berbagai LAZ yang telah terakreditasi. Menurut hemat penulis, peningkatan status kementerian negara bukan berarti merubah mekanisme yang sudah berjalan selama ini. BAZNAS akan berada dibawah kendali penuh kementerian ini, sementara LAZ-LAZ yang sudah terakreditasi tetap dapat melaksanakan aktivitasnya seperti semula. Nantinya kementerian zakat dan wakaf inilah yang akan mengatur mekanisme koordinasi dan kerjasama antar lembaga zakat, demi terciptanya sinergisitas program, termasuk dengan menciptakan standarisasi pengelolaan zakat. Standarisasi ini mutlak dilakukan untuk memudahkan mekanisme pengelolaan, pemanfaatan, sekaligus pertanggungjawaban dana zakat dan wakaf. Yang tidak kalah penting juga adalah, kementerian ini nantinya harus memiliki database yang lengkap mengenai jumlah muzakki dan mustahik, termasuk mengeluarkan NPWZ (Nomor Pokok Wajib Zakat) bagi setiap warganegara yang terkategorikan sebagai muzakki. Adapun status kementerian ini, menurut penulis, cukup sebagai kementerian negara non portofolio. Wallahu ‘alam.

Oleh: Dewan Asatidz

Minggu, 02 Desember 2007

Puisi

Dengan puisi....

Dengan puisi aku bernyanyi sampai senja umurku nanti
Dengan puisi aku bercinta berbatas cakrawala

Dengan puisi aku mengenang keabadian yang akan datang
Dengan puisi aku menangis jarum waktu bila kejar mengiri

Dengan puisi aku memutih nafas jalan yang busuk
Dengan puisi aku berdoa perkenankanlah kiranya

Metodologi Ekonomi Islam

Metodologi Ekonomi Islam Cetak halaman ini Kirim halaman ini ke teman via E-mail

Selama ini kalau kita berbicara tentang muamalah, terutama ekonomi, kita akan berbicara tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh. Hal ini memang merupakan prinsip dasar dari muamalah itu sendiri, yang menyatakan: “Perhatikan apa yang dilarang, diluar itu maka boleh dikerjakan.” Tetapi pertanyaan kemudian mengemuka, seperti apakah ekonomi dalam sudut pandang Islam itu sendiri? Bagaimana filosofi dan kerangkanya? Dan bagaimanakah ekonomi Islam yang ideal itu?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka sebenarnya kita perlu melihat bagaimanakah metodologi dari ekonomi Islam itu sendiri. Muhammad Anas Zarqa (1992), menjelaskan bahwa ekonomi Islam itu terdiri dari 3 kerangka metodologi. Pertama adalah presumptions and ideas, atau yang disebut dengan ide dan prinsip dasar dari ekonomi Islam. Ide ini bersumber dari Al Qur’an, Sunnah, dan Fiqih Al Maqasid. Ide ini nantinya harus dapat diturunkan menjadi pendekatan yang ilmiah dalam membangun kerangka berpikir dari ekonomi Islam itu sendiri. Kedua adalah nature of value judgement, atau pendekatan nilai dalam Islam terhadap kondisi ekonomi yang terjadi. Pendekatan ini berkaitan dengan konsep utilitas dalam Islam. Terakhir, yang disebut dengan positive part of economics science. Bagian ini menjelaskan tentang realita ekonomi dan bagaimana konsep Islam bisa diturunkan dalam kondisi nyata dan riil. Melalui tiga pendekatan metodologi tersebut, maka ekonomi Islam dibangun.

Ahli ekonomi Islam lainnya, Masudul Alam Choudhury (1998), menjelaskan bahwa pendekatan ekonomi Islam itu perlu menggunakan shuratic process, atau pendekatan syura. Syura itu bukan demokrasi. Shuratic process adalah metodologi individual digantikan oleh sebuah konsensus para ahli dan pelaku pasar dalam menciptakan keseimbangan ekonomi dan perilaku pasar. Individualisme yang merupakan ide dasar ekonomi konvensional tidak dapat lagi bertahan, karena tidak mengindahkan adanya distribusi yang tepat, sehingga terciptalah sebuah jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin.
Pertanyaan kemudian muncul, apakah konsep Islam dalam ekonomi bisa diterapkan di suatu negara, misalnya di negara kita? Memang baru-baru ini muncul ide untuk menciptakan dual economic system di negara kita, dimana ekonomi konvensional diterapkan bersamaan dengan ekonomi Islam. Tapi mungkinkah Islam bisa diterapkan dalam kondisi ekonomi yang nyata?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, Umar Chapra (2000) menjelaskan bahwa terdapat dua aliran dalam ekonomi, yaitu aliran normatif dan positif. Aliran normatif itu selalu memandang sesuatu permasalahan dari yang seharusnya terjadi, sehingga terkesan idealis dan perfeksionis. Sedangkan aliran positif memandang permasalahan dari realita dan fakta yang terjadi. Aliran positif ini pun kemudian menghasilkan perilaku manusia yang rasional. Perilaku yang selalu melihat masalah ekonomi dari sudut pandang rasio dan nalarnya. Kedua aliran ini merupakan ekstrim diantara dua kutub yang berbeda.

Lalu apa hubungannya kedua aliran tersebut dengan pelaksanaan ekonomi Islam? Ternyata hubungannya adalah akan selalu ada orang-orang yang mempunyai pikiran dan ide yang bersumber dari dua aliran tersebut. Jadi atau tidak jadi ekonomi Islam akan diterapkan, akan ada yang menentang dan mendukungnya. Oleh karena itu sebagai orang yang optimis, maka penulis akan menyatakan ‘Ya’, Islam dapat diterapkan dalam sebuah sistem ekonomi.

Tetapi optimisme ini akan dapat terwujud manakala etika dan perilaku pasar sudah berubah. Dalam Islam etika berperan penting dalam menciptakan utilitas atau kepuasan (Tag El Din, 2005). Konsep Islam menyatakan bahwa kepuasan optimal akan tercipta manakala pihak lain sudah mencapai kepuasan atau hasil optimal yang diinginkan, yang juga diikuti dengan kepuasan yang dialami oleh kita. Islam sebenarnya memandang penting adanya distribusi, kemudian lahirlah zakat sebagai bentuk dari distribusi itu sendiri.

Maka, sesungguhnya kerangka dasar dari ekonomi Islam didasari oleh tiga metodolodi dari Muhammad Anas Zarqa, yang kemudian dikombinasikan dengan efektivitas distribusi zakat serta penerapan konsep shuratic process (konsensus bersama) dalam setiap pelaksanaannya. Dari kerangka tersebut, insyaAllah ekonomi Islam dapat diterapkan dalam kehidupan nyata. Dan semua itu harus dibungkus oleh etika dari para pelakunya serta peningkatan kualitas sumber daya manusianya (Al Harran, 1996). Utilitas yang optimal akan lahir manakala distribusi dan adanya etika yang menjadi acuan dalam berperilaku ekonomi. Oleh karena itu semangat untuk memiliki etika dan perilaku yang ihsan kini harus dikampanyekan kepada seluruh sumber daya insani dari ekonomi Islam. Agar ekonomi Islam dapat benar-benar diterapkan dalam kehidupan nyata, yang akan menciptakan keadilan sosial, kemandirian, dan kesejahteraan masyarakatnya.

Wallahu ‘alamu bishowwab.


oleh : M. Imamuddin

Prinsip-Prinsip Eknomi Islam

PRINSIP-PRINSIP EKONOMI ISLAM

Achyar Eldine

A. Pendahuluan

Meskipun ada kesamaan timbulnya kegiatan ekonomi, yakni disebabkan oleh adanya kebutuhan dan keinginan manusia. Namun karena cara manusia dalam memenuhi alat pemuas kebutuhan dan cara mendistribusikan alat kebutuhan tersebut didasari filosofi yang berbeda, maka timbullah berbagai bentuk sistem dan praktik ekonomi dari banyak negara di dunia. Perbedaan ini tidak terlepas dari pengaruh filsafat, agama, ideologi, dan kepentingan politik yang mendasari suatu negara penganut sistem tersebut.

Ilmu ekonomi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari perilaku manusia sebagai hubungan antara tujuan dan sarana langka yang memiliki kegunaan-kegunaan alternatif. Ilmu ekonomi adalah studi yang mempelajari cara-cara manusia mencapai kesejahteraan dan mendistribusikannya. Kesejahteraan yang dimaksud adalah segala sesuatu yang memiliki nilai dan harga, mencakup barang-barang dan jasa yang diproduksi dan dijual oleh para pebisnis.

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana kemudian barang-barang dan jasa itu (kekayaan) itu dibagi-bagikan. Cara yang ditempuh oleh masyarakat untuk menjawab pertanyaan ini dengan menentukan sistem ekonomi yang diterapkan. Setidaknya dalam praktik ada lima sistem ekonomi yang dikenal masyarakat dunia, yakni

Kapitalisme, Sosialisme, Fasisme, Komunisme dan terakhir adalah Ekonomi Islam.

B. Kapitalisme

Faham Kapitalisme berasal dari Inggris abad 18, kemudian menyebar ke Eropa Barat dan Amerika Utara. Sebagai akibat dari perlawanan terhadap ajaran gereja, tumbuh aliran pemikiran liberalisme di negara-negara Eropa Barat. Aliran ini kemudian merambah ke segala bidang termasuk bidang ekonomi. Dasar filosofis pemikiran ekonomi Kapitalis bersumber dari tulisan Adam Smith dalam bukunya An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations yang ditulis pada tahun 1776. Isi buku tersebut sarat dengan pemikiran-pemikiran tingkah laku ekonomi masyarakat. Dari dasar filosofi tersebut kemudian menjadi sistem ekonomi, dan pada akhirnya kemudian mengakar menjadi ideologi yang mencerminkan suatu gaya hidup (way of life).

Smith berpendapat motif manusia melakukan kegiatan ekonomi adalah atas dasar dorongan kepentingan pribadi, yang bertindak sebagai tenaga pendorong yang membimbing manusia mengerjakan apa saja asal masyarakat sedia membayar "Bukan berkat kemurahan tukang daging, tukang pembuat bir, atau tukang pembuat roti kita dapat makan siang," kata Smith "akan tetapi karena mereka memperhatikan kepentingan pribadi mereka. Kita berbicara bukan kepada rasa perikemanusiaan mereka, melainkan kepada cinta mereka kepada diri mereka sendiri, dan janganlah sekali-kali berbicara tentang keperluan-keperluan kita, melainkan tentang keuntungan-keuntungan mereka." (Robert L. Heilbroner;1986, UI Press).1

Motif kepentingan individu yang didorong oleh filsafat liberalisme kemudian melahirkan sistem ekonomi pasar bebas, pada akhirnya melahirkan ekonomi Kapitalis.

Milton H. Spencer (1977), menulis dalam bukunya Contemporary Economics: "Kapitalisme merupakan sebuah sistem organisasi ekonomi yang dicirikan oleh hak milik privat (individu) atas alat-alat produksi dan distribusi (tanah, pabrik-pabrik, jalan-jalan kereta api, dan sebagainya) dan pemanfaatannya untuk mencapai laba dalam kondisi-kondisi yang sangat kompetitif."

Lembaga hak milik swasta merupakan elemen paling pokok dari kapitalisme. Pemberian hak pemilikan atas harta kekayaan memenuhi tiga macam fungsi ekonomi penting:

Para individu memperoleh perangsang agar aktiva mereka dimanfaatkan seproduktif mungkin.

Hal tersebut sangat mempengaruhi distribusi kekayaan serta pendapatan karena individu-individu diperkenankan untuk menghimpun aktiva dan memberikannya kepada para ahli waris secara mutlak apabila mereka meninggal dunia.

Ia memungkinkan laju pertukaran yang tinggi oleh karena orang memiliki hak pemilikan atas barang-barang sebelum hak tersebut dapat dialihkan kepada pihak lain.

Dengan demikian kapitalisme sangat erat hubungannya dengan pengejaran kepentingan individu. Bagi Smith bila setiap individu diperbolehkan mengejar kepentingannya sendiri tanpa adanya campur tangan pihak pemerintah, maka ia seakan-akan dibimbing oleh tangan yang tak nampak (the invisible hand), untuk mencapai yang terbaik pada masyarakat. Kebebasan ekonomi tersebut juga diilhami oleh pendapat Legendre yang ditanya oleh Menteri keuangan Perancis pada masa pemerintahan Louis XIV pada akhir abad ke 17, yakni Jean Bapiste Colbert. Bagaimana kiranya pemerintah dapat membantu dunia usaha, Legendre menjawab: "Laissez nous faire" (jangan mengganggu kita, [leave us alone]), kata ini dikenal kemudian sebagai laissez faire. Dewasa ini prinsip laissez faire diartikan sebagai tiadanya intervensi pemerintah sehingga timbullah:

individualisme ekonomi dan

kebebasan ekonomi

Dengan kata lain dalam sistem ekonomi kapitalis berlaku "Free Fight Liberalism" (sistem persaingan bebas). Siapa yang memiliki dan mampu menggunakan kekuatan modal (Capital) secara efektif dan efisien akan dapat memenangkan pertarungan dalam bisnis. Paham yang mengagungkan kekuatan modal sebagai syarat memenangkan pertarungan ekonomi disebut sebagai Capitalisme.

C. Sosialisme

Dalam kehidupan sehari-hari istilah sosialisme digunakan dalam banyak arti. Istilah sosialisme selain digunakan untuk menunjukkan sistem ekonomi, juga digunakan untuk menunjukkan aliran filsafat, ideologi, cita-cita, ajaran-ajaran atau gerakan. Sosialisme sebagai gerakan ekonomi muncul sebagai perlawanan terhadap ketidak adilan yang timbul dari sistem kapitalisme.

John Stuart Mill (1806-1873), menyebutkan sebutan sosialisme menunjukkan kegiatan untuk menolong orang-orang yang tidak beruntung dan tertindas dengan sedikit tergantung dari bantuan pemerintah.

Sosialisme juga diartikan sebagai bentuk perekonomian di mana pemerintah paling kurang bertindak sebagai pihak dipercayai oleh seluruh warga masyarakat, dan menasionalisasikan industri-industri besar dan strategis seperti pertambangan, jalan-jalan, dan jembatan, kereta api, serta cabang-cabang produk lain yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Dalam bentuk yang paling lengkap sosialisme melibatkan pemilikan semua alat-alat produksi, termasuk di dalamnya tanah-tanah pertanian oleh negara, dan menghilangkan milik swasta (Brinton:1981).

Dalam masyarakat sosialis hal yang menonjol adalah kolektivisme atau rasa kerbersamaan. Untuk mewujudkan rasa kebersamaan ini, alakosi produksi dan cara pendistribusian semua sumber-sumber ekonomi diatur oleh negara.

D. Komunisme

Komunisme muncul sebagai aliran ekonomi, ibarat anak haram yang tidak disukai oleh kaum Kapitalis. Aliran ekstrim yang muncul dengan tujuan yang sama dengan sosialisme, sering lebih bersifat gerakan ideologis dan mencoba hendak mendobrak sistem kapitalisme dan sistem lain yang telah mapan.

Kampiun Komunis adalah Karl Marx, sosok yang amat membenci Kapitalisme ini merupakan korban dan saksi sejarah, betapa ia melihat para anak-anak dan wanita-wanita -termasuk keluarganya- yang di eksploitir para kapitalis sehingga sebagian besar dari mereka terserang penyakit TBC dan tewas, karena beratnya penderitaan yang mereka alami. Sementara hasil jerih payah mereka dinikmati oleh para pemilik sumber daya (modal) yang disebutnya kaum Bourjuis.

Di ilhami pendapat Hegel yang menyatakan bahwa perubahan historis merupakan hasil kekuatan-kekuatan yang bertentangan satu sama lain. Pertentangan tersebut pada dasarnya bersifat ekonomis atau materialistis, dengan demikian faktor-faktor ekonomi menurut Marx mejadi sebab pokok terjadinya perubahan.

Kata Komunisme secara historis sering digunakan untuk menggambarkan sistem-sistem sosial di mana barang-barang dimiliki secara bersama-sama dan didistribusikan untuk kepentingan bersama sesuai dengan kebutuhan masing-masing anggota masyarakat. Produksi dan konsumsi bersama berdasarkan kapasitas ini merupakan hal pokok dalam mendefinisikan paham komunis, sesuai dengan motto mereka: from each according to his abilities to each according to his needs (dari setiap orang sesuai dengan kemampuan, untuk setiap orang sesuai dengan kebutuhan).3

Walaupun tujuan sosialisme dan komunisme sama, tetapi dalam mencapai tujuan tersebut sangat berbeda. Komunisme adalah bentuk paling ekstrem dari sosialisme. Bentuk sistem perekonomian yang didasarkan atas sistem, di mana segala sesuatunya serba dikomando. Begitu juga karena dalam sistem komunisme negara merupakan penguasa mutlak, perekonomian komunis sering juga disebut sebagai "sistem ekonomi totaliter", menunjuk pada suatu kondisi sosial di mana pemerintah main paksa dalam menjalankan kebijakan-kebijakannya, meskipun dipercayakan pada asosiasi-asosiasi dalam sistem sosial kemasyarakatan yang ada. Sistem ekonomi totaliter dalam praktiknya berubah menjadi sistem otoriter, dimana sumber-sumber ekonomi dikuasai oleh segelintir elite yang disebut sebagai polit biro yang terdiri dari elite-elite penguasa partai Komunis.

E. Fasisme

Fasisme muncul dari filsafat radikal yang muncul dari revolusi industri yakni sindikalisme. Eksponen sindikalisme adalah George Sorel (1847-1922). Para penganjur sindikalisme menginginkan reorganisasi masyarakat menjadi:

asosiasi-asosiasi yang mencakup seluruh industri, atau

sindikat-sindikat pekerja

Mereka menganjurkan agar ada sindikat-sindikat pabrik baja yang dimiliki dan dioperasikan oleh para pekerja di dalam industri batu bara, dan begitu pula halnya pada industri-industri lain.

Dengan demikian sindikat-sindikat yang ada pada dasarnya merupakan serikat-serikat buruh akan menggantikan negara. Dalam sistem ekonomi fasisme, pemerintah melakukan pengendalian dalam bidang produksi, sedangkan kekayaan dimiliki oleh pihak swasta.

Dalam praktik Fasisme dan Komunisme adalah dua gejala dari penyakit yang sama. Keduanya sering dikelompokkan sebagai sistem totaliter. Keduanya sama dalam hal pemerintahan, yaitu kediktatoran satu partai.

F. Islam

Ilmu ekonomi Islam merupakan ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang dilhami oleh nilai-nilai Islam. Sejauh mengenai masalah pokok kekurangan, hampir tidak terdapat perbedaan apapun antara ilmu ekonomi Islam dan ilmu ekonomi modern. Andaipun ada perbedaan itu terletak pada sifat dan volumenya (M. Abdul Mannan; 1993). Itulah sebabnya mengapa perbedaan pokok antara kedua sistem ilmu ekonomi dapat dikemukakan dengan memperhatikan penanganan masalah pilihan.

Dalam ilmu ekonomi modern masalah pilihan ini sangat tergantung pada macam-macam tingkah masing-masing individu. Mereka mungkin atau mungkin juga tidak memperhitungkan persyaratan-persyaratan masyarakat. Namun dalam ilmu ekonomi Islam, kita tidaklah berada dalam kedudukan untuk mendistribusikan sumber-sumber semau kita. Dalam hal ini ada pembatasan yang serius berdasarkan ketetapan kitab Suci Al-Qur’an dan Sunnah atas tenaga individu. Dalam Islam, kesejahteraan sosial dapat dimaksimalkan jika sumber daya ekonomi juga dialokasikan sedemikian rupa, sehingga dengan pengaturan kembali keadaannya, tidak seorang pun lebih baik dengan menjadikan orang lain lebih buruk di dalam kerangka Al-Qur’an atau Sunnah.

Suka atau tidak, ilmu ekonomi Islam tidak dapat berdiri netral di antara tujuan yang berbeda-beda. Kegiatan membuat dan menjual minuman alkohol dapat merupakan aktivitas yang baik dalam sistem ekonomi modern. Namun hal ini tidak dimungkinkan dalam negara Islam.

Seluruh lingkaran aktivitas ekonomi dapat dijelaskan dengan bantuan dua grafik dibawah sebagai berikut:4

(A)

Ilmu Ekonomi Islam

(B)

Ilmu Ekonomi Modern

A. (1) Manusia (sosial namun religius)

B (1) Manusia (sosial)

A. (2) Kebutuhan- kebutuhan tidak terbatas

A. (3) Kekurangan sarana

B. (2) Kebutuhan- kebutuhan tidak terbatas

B. (3) Kekurangan sarana

(E) masalah-masalah ekonomi

(E) masalah-masalah ekonomi

A. (4) Pilihan di antara alternatif (dituntun oleh nilai Islam)

B. (4) Pilihan di antara alternatif (dituntun oleh kepentingan individu)

A. (5) Pertukaran terpadu dan transfer Satu arah (dituntun oleh etika Islami, kekuatan bukan pasar)

B. (5) Pertukaran dituntun oleh

kekuatan pasar





Jadi ringkasnya, dalam ilmu ekonomi Islam kita tidak hanya mempelajari individu sosial melainkan juga manusia dengan bakat religiusnya [A(1)]. Hal ini disebabkan karena banyaknya kebutuhan [A(2)/B(2)] dan kurangnya sarana (A3/B3), maka timbullah masalah ekonomi (E). Masalah ini pada dasarnya sama baik dalam ekonomi modern maupun ekonomi Islam. Namun perbedaan timbul berkenan dengan pilihan. Ilmu ekonomi Islam dikendalikan oleh nilai-nilai dasar Islam A (4) dan ilmu ekonomi modern sangat dikuasai oleh kepentingan diri si individu B (4). Yang membuat ilmu ekonomi Islam benar-benar berbeda ialah sistem pertukaran dan transfer satu arah yang terpadu mempengaruhi alokasi kekurangan sumber-sumber daya, dengan demikian menjadikan proses pertukaran langsung relevan dengan kesejahteraan menyeluruh (A/5) yang berbeda hanya dari kesejahteraan ekonomi (B/5).

Faktor-faktor Produksi dan Konsep Pemilikan

Produksi berarti diciptakannya manfaat, produksi tidak diartikan sebagai menciptakan secara fisik sesuatu yang tidak ada, karena tidak seorang pun dapat menciptakan benda. Yang dapat dilakukan oleh manusia hanyalah membuat barang-barang menjadi berguna, disebut sebagai "dihasilkan." Prinsip fundamental yang harus diperhatikan dalam proses produksi adalah prinsip kesejahteraan ekonomi. Tidak ada perbedaan sudut pandang apa yang menjadi faktor-faktor produksi dalam pandangan ekonomi umum dengan ekonomi Islam yakni, Tanah, Tenaga kerja, Modal dan Organisasi dipandang sama sebagai faktor-faktor produksi. Perbedaan keduanya adalah dari sudut pandang perlakuan faktor-faktor produksi tersebut.

Dalam pandangan Kapitalisme tanah merupakan hak milik mutlak, sementara dalam pandangan Sosialis dan Komunis tanah hanya dimiliki negara sementara Islam memandang Tanah sebagai milik mutlak Allah.5 Sehingga baik negara maupun masyarakat tidak dapat mengklaim sebidang tanah bila keduanya mengabaikan tanah tersebut melewati batas waktu 3 tahun.6 Pemanfaatan atas tanah dalam Islam bukan pada kemampuan seseorang untuk menguasainya tetapi atas dasar pemanfaatannya.7 Sehingga fungsi tanah dalam Islam adalah sebagai hak pengelolaan bukan pada penguasaan.

Masalah krusial hingga kini adalah berkaitan dengan tenaga kerja.

Dalam pandangan Marx, ketidak adilan yang dilakukan para Kapitalis terletak pada pemenuhan upah yang tidak wajar. Sebagai contoh, para pemilik modal menetapkan hari kerja 12 jam. padahal pekerja yang bersangkutan dapat memproduksi nilai yang sama dengan upah subsitensinya dalam 7 jam, maka sisa 5 jam merupakan nilai surplus yang secara harfiah dicuri oleh para Kapitalis. Islam sangat concern terhadap posisi tenaga kerja Nabi berkata "Bayarlah upah pekerja sebelum keringatnya kering," ucapan Rasulullah tersebut mengisyaratkan betapa hak-hak pekerja harus mendapat jaminan yang cukup. Islam tidak memperkenankan pekerja bekerja pada bidang-bidang yang tidak diizinkan oleh syariat. Dalam Islam, buruh bukan hanya suatu jumlah usaha atau jasa abstrak yang ditawarkan untuk dijual pada para pencari tenaga kerja manusia. Mereka yang mempekerjakan buruh mempunyai tanggung jawab moral dan sosial. Dengan demikian sebuah lembaga Islam yang mempekerjakan buruh atau pekerja tidak diperkenankan membayar gaji mereka dengan tidak sewajarnya (ukuran wajar dapat diukur dengan standar hidup layak atau menurut ukuran pemerintah seperti UMP). Dan sangat besar dosanya bila sebuah lembaga Islam yang dengan sengaja tidak mau membayar upah buruhnya dengan standar kebutuhan, apalagi bila membujuknya dengan kata-kata bahwa, nilai pengorbanan si buruh tersebut merupakan pahala baginya. Padahal dibalik itu si pemilik modal (si pejabat) melakukan pemerasan berkedok agama. Baik si pekerja maupun majikan tidak boleh saling memeras. Tanggung jawab seorang buruh tidak berakhir ketika ia meninggalkan pabrik/usaha majikannya. Tetapi ia juga mempunyai tanggung jawab moral untuk melindungi kepentingan yang sah, baik kepentingan para majikan maupun para pekerja yang kurang beruntung.

Suatu sistem ekonomi Islam harus bebas dari bunga (riba), riba merupakan pemerasan kepada orang yang sesak hidupnya (terdesak oleh kebutuhan).8 Islam sangat mencela penggunaan modal yang mengandung riba.9 Dengan alasan inilah, modal telah menduduki tempat yang khusus dalam ilmu ekonomi Islam. Negara Islam mempunyai hak untuk turun tangan bila modal swasta digunakan untuk merugikan masyarakat. Tersedia hukuman yang berat bagi mereka yang menyalahgunakan kekayaan untuk merugikan masyarakat.[1]0

Lagi pula hanya sistem ekonomi Islam yang dapat menggunakan modal dengan benar dan baik, karena dalam sistem Kapitalis modern kita dapati bahwa manfaat kemajuan teknik yang dicapai oleh ilmu pengetahuan hanya bisa dinikmati oleh masyarakat yang relatif kaya, yang pendapatannya melebihi batas pendapatan untuk hidup sehari-hari. Mereka yang hidup sekedar cukup untuk makan sehari-hari terpaksa harus tetap menderita kemiskinan abadi, karena hanya dengan mengurangi konsumsi hari ini ia dapat menyediakan hasil yang kian bertambah bagi hari esok, dan kita tidak bisa berbuat demikian kecuali bila pendapatan kita sekarang ini bersisa sedikit di atas keperluan hidup sehari-hari.

Tetapi Islam melindungi kepentingan si miskin dengan memberikan tanggung jawab moral terhadap si kaya untuk memperhatikan si miskin. Islam mengakui sistem hak milik pribadi secara terbatas, setiap usaha apa saja yang mengarah ke penumpukan kekayaan yang tidak layak dalam tangan segelintir orang, dikutuk! Al-Qur’an menyatakan agar si kaya mengeluarkan sebagian dari rezekinya untuk kesejahteraan masyarakat1[1], karena kekayaan harus tersebar dengan baik.12 Dengan cara ini, Islam menyetujui dua pembentukan modal yang berlawanan yaitu konsumsi sekarang yang berkurang dan konsumsi mendatang yang bertambah. Dengan demikian memungkinkan modal memainkan peranan yang sesungguhnya dalam proses produksi. Karena itu tingkat keuntungan pada usaha ekonomi yang khusus antara lain dapat digunakan sebagai salah satu sarana penentuan modal.

Kelihatannya tiak ada ciri-ciri istimewa yang dapat dianggap sebagai organisasi dalam suatu kerangka Islam. Tetapi ciri-ciri khusus berikutnya dapat diperhatikan, untuk memahami peranan organisasi dalam ekonomi Islam. Pertama, dalam ekonomi Islam pada hakikatnya lebih berdasarkan ekuiti (equity-based) daripada berdasarkan pinjaman (loan-based), para manajer cenderung mengelola perusahaan yang bersangkutan dengan pandangan untuk membagi deviden di kalangan pemegang saham atau berbagi keuntungan diantara mitra sutau usaha ekonomi. Kekuatan – kekuatan koperatif melalui berbagai bentuk investasi berdasarkan persekutuan dalam bermacam-macam bentuk (mudaraba, musyarika, dll).

Kedua, pengertian keuntungan biasa mempunyai arti yang lebih luas dalam kerangka ekonomi Islam karena bunga pada modal tidak diperkenankan. Modal manusia yang diberikan manajer harus diitegerasikan dengan modal yang berbentuk uang. Pengusaha penanam modal dan usahawan menjadi bagian terpadu dalam organisasi dimana keuntungan biasa menjadi urusan bersama.

Ketiga, karena sifat terpadu organisasi inilah tuntutan akan integritas moral, ketetapan dan kejujuran dalam perakunan (accounting) barangkali jauh lebih diperlukan daripada dalam organisasi sekular mana saja, dimana para pemilik modalnya mungkin bukan meruapakn bagian ari manajemen. Islam menekankan kejujuran, ketepatan dan kesungguhan dalam urusan perdagangan, karena hal itu mengurangi biaya penyediaan (supervisi) dan pengawasan. Faktor manusia dalam produksi dan strategi usaha barangkali mempunyai signifikansi lebih diakui dibandingkan dengan strategi manajemen lainnya yang didasarkan pada memaksimalkan keuntungan atau penjualan.

Dapat disimpulkan bahwa sistem produktif dalam negara Islam harus dikendalikan dengan kriteria objektif maupun subjektif. Kriteria objektif diukur dengan kesejahteraan material, seangkan kriteria subjektif harus tercermin dalam kesejahteraan yang harus dinilai dari segi etika ekonomi Islam.

Dalam Islam, faktor produksi tidak hanya tunduk pada proses perubahan sejarah yang didesak oleh banyak ke-kuatan berlatar belakang penguangan / monetization

tenaga kerja, tanah dan modal, timbulnya negara nasional dari kerajaan feodal dan sebagainya, tetapi juga pada kerangka moral dan etika abadi sebagaimanatertulis dalam syariat. Tanah tidak dianggap sebagai hak kuno istimew dari negara dan kekuasaan, tetapi dianggap sebagai sarana untuk meningkatkan produksi yang digunakan demi kesejahteraan individu dan masyarakat.

Konsep hak milik pribadi dalam Islam bersifat unik, dalam arti bahwa pemilik mutlak segala sesuatu yang ada di bumi dan langit adalah Allah14 manusia hanyalah kalifah di muka bumi. Pada umumnya terdapat ketentuan syariat yang mengatur hak milik pribadi.

Beberapa aspek pembiayaan dalam Islam cukup bervariasi, jika dalam ekonomi modern pemerintah memperoleh pendapatan dari sumber pajak, bea cukai dan pungutan, maka Islam lebih memperkayanya dengan zakat, jizyah, kharaj (paja bumi), pampasan perang.

Meskipun nilai nominal zakat lebih kecil dari pajak dalam ekonomi modern tetapi pemberlakukan distribusinya lebih efektif. Sebagai contoh pada masa depresi di Amerika tahun 1929 (jatuhnya bursa saham di New York), ahli makro ekonomi Keynes, menyarankan agar masyarakat Amerika yang berduit melakukan komsumsi tinggi - salah satu penyebab terjadinya depresi ekonomi adalah akibat terkonsentrasinya modal pada segelintir orang – diharapkan dengan konsumsi tinggi akan mengalir dana dan menjadi efek rembes ke kemasyarakat. Akan tetapi efek rembes dana dari orang kaya biasanya mengalir lambat pada orang miskin,

Keunggulan pembangunan Islam yang mengacu pada meningkatnya output dari setiap jam kerja yang dilakukan, bila dibandingkan dengan konsep modern, disebabkan karena keinginan pembangunan ekonomi dalam Islam tidak hanya timbul dari masalah ekonomi abadi manusia, tetapi juga dari anjuran Ilahi dalam Qur’an dan Sunnah. Pertumbuhan output per kapita, di satu pihak tergantung pada sumber daya alam dan di lain pihak pada perilaku manusia. Tetapi sumber daya alam saja bukan merupakan kondisi yang cukup untuk pembangunan ekonomi, juga bukan sesuatu yang mutlak diperlukan. Perilaku manusia memainkan peranan yang sangat penting dalam pembangunan ekonomi. Namun pembentukan perilaku manusia di negara terbelakang adalah suatu proses yang menyakitkan karena memerlukan penyesuaian dengan lembaga-lembaga sosial, ekonomi, hukum, politik. Berbeda dari agama lainnya, Islam mengakui kebutuhan metafisik maupun material dari kehidupan. Karena itu masalah penempatan perilaku manusia di suatu negara Islam tidaklah sesulit di negara-negara sekular.