Minggu, 05 Juli 2009

Surat Permohonan Gelar Ganda (Double degree)


Kepada:
Yth. Rektor (cq Kepala Biro AAK)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Di Tempat


Assalamu’alaikum. Wr. Wb.
Sesampainya surat ini, saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Ecep Heryadi
NIM : 104046101639
Semester : VII (Tujuh)
Jurusan : Muamalat/ Perbankan Syariah (PS)
Fakultas : Syariah dan Hukum

Ingin mengajukan Program Gelar Ganda (Double degree) pada tahun ajaran 2009/2010 dengan mengambil Program Studi Tambahan di Fakultas Filsafat dan Ushuludin, Program Studi Pemikiran Politik Islam (PPI).
Demikian, surat ini saya buat sebenar-benarnya. Atas segala perhatian dan bantuan Bapak saya mengucapkan banyak terima kasih.
Wassalamu’alaikum. Wr. Wb.


Ciputat, 29 Juni 2009


Ecep Heryadi

Selasa, 01 Januari 2008

Yang Dibutuhkan Bank Syariah Adalah Substansi Bukan Symbol Syariah

Sebagaimana kita ketahui bersama, perbankan syariah dewasa ini dalam melemparkan produknya masih identik dengan istilah-istilah berdimensi arab, seperti : Mudharabah, Musyarakah, Ijarah, Qardhul Hasan, dsb. hal tersebut tidak masalah apabila sasarannya itu orang-orang yang mengerti dan faham terhadap istilah-istilah itu, seperti : Praktisi perbankan syariahnya sendiri, Para akademisi, Ulama, dsb. akan tetapi akan menimbulkan ketidak efisienan symbol karena pangsa pasarnya ternyata tidak hanya orang-orang yang tersebut diatas tetapi mayoritas kalangan yang notabene "boro-boro" faham dengan istilah-istilah tersebut, yang terjadi menyebutnya saja masih memerlukan tahapan.
Mengutip tulisannya DR. Yusuf Al-Qardawi dalam bukunya "Fawaaidal bunuki hujar riba al-harami" (bunga bank itu haram", bahwa hukum tentang muamalah ini berlaku bagi bnak-bank yang menyebut dirinya islam maupun non-islami, karena yang menjadi standar dalam muamalah adalah essensi dan substansi, bukan nama atau simbolnya.
secara sederhana, Yusuf Al-Qardawi berpandangan bahwa tidak penting ada atau tidak ada simbol syariah dalam perbankan islam ini namun yang paling penting adalah essensi dari syariahnya itu sendiri, misalnya : bank syariah harus konsisten dalam memegang prinsip al-adl (keadilan) dalam bermuamalah tentunya dengan tidak mengabaikan aspek prudential banking yang telah ditetapkan oleh bank sentral.
Selama ini yang ada dibenak masyarakat terkait dengan bank syariah, adalah bank dengan prinsip bagi hasil namun apabila ditanya menyoal apa itu Mudharabah? mayoritas diantara mereka menggeleng-gelengkan kepala tanda tak "mudeng" dengan kata itu.
Masyarakat indonesia sudah terbiasa dengan sesuatu yang serba instan, easy listening, easy rading, dan yang terpenting easy talking. kultur yang telah terendap, mayoritas dari masyarakat kita sukar untuk bekerjasama dengan sesuatu yang masih baru apalagi belum populer meskipun benar dan kehalalannya terjamin.
Para stakeholder bank syariah sendiri yang harus bisa merubah citra mereka baik itu yang ada kaitannya dengan manajemen ataupun produk supaya lambat laun dapat diterima oleh berbagai kalangan tidak hanya sebatas muslim semata tetapi non muslim juga karena sesungguhnya islam itu adalah rahmatan lil 'alamin (rahmat bagi seluruh alam).
Secara toritis masyarakat indonesia yang notabene mayoritas beragama islam sudah ada keinginan yang kuat untuk mengelola dananya dengan perbankan yang tidak menggunakan system bunga. tetapi mereka masih bingung dengan perbankan syariah yang banyak menggunakan istilah-istilah yang kurang atau bahkan tida mereka fahami. ibaratnya, sesuatu yan dikatakan bagus dan menarik tetapi tidak mengerti sebenarnya dilihat dari mananya keadaan tersebut dapat dikategorikan bagus karena terkendala publikasi dan alat komunikasi. itulah gambaran yang selama ini terjadi.
Intinya, bank-bank syariah akan mudah diterima apabila pasar mengetahui dan faham kelebihan bank syariah itu sendiri. kalangan bankir syariah mesti faham bahwa sesungguhnya maoritas dari share market-nya adalah kelompok awam.
wallahu allam bisshawab.

Selasa, 25 Desember 2007

Anda Investasi Atau Investasi

Tulisan ini ingin mengambil artikel dari buku yang berjudul The Intelligent Investor oleh Benjamin Graham dalam tulisannya mengenai perilaku investasi dan perilaku spekulasi. Menurut Ben. Graham definisi investasi adalah ”Tindakan melalui analisis yang menyeluruh, menjanjikan keamanan dana pokok dan memberikan return (keuntungan/ pengembalian) memadai.” Analisis menyeluruh berarti studi tentang fakta-fakta dengan memperhatikan standar keamanan dan nilai, sedangkan keamanan dana pokok menegaskan pada perlindungan terhadap kerugian dalam semua kondisi normal, kemungkinan yang akan terjadi atau variasi. Return yang memadai mengacu pada setiap tingkat atau jumlah return berapapun kecilnya yang tersedia diterima oleh investor dengan catatan bahwa ia bertindak menggunakan kecerdasan yang memadai.
Penulis sangat prihatin dengan kondisi dimana orang mulai percaya bahwa pengujian terhadap suatu teknis investasi semata-mata soal apakah teknik tersebut ”berhasil” atau tidak. Jika mereka bisa mengalahkan pasar dalam suatu periode, tanpa peduli seberapa berbahaya dan salahnya taktik mereka, mereka dengan bangga mengatakan bahwa mereka ”benar”. Namun seorang investor yang intelligent tidak ingin hanya menjadi benar untuk sementara waktu. Untuk mencapai tujuan keuangan jangka panjang, Anda harus terus-menerus dan pasti benar. Teknik-teknik yang menjadi sangat terkenal pada tahun 1990-an yang disebut dengan day trading (membeli dan menjual saham dalam satu hari), mengabaikan diversifikasi, memperjualbelikan mutual fund yang sedang naik daun dan mengikuti berbagai sistem pemilihan saham – yang kelihatannya berhasil. Namun berbagai teknis tersebut tak memiliki peluang untuk bertahan dalam jangka panjang, karena semuanya tidak bisa memenuhi ketiga kriteria Graham dalam berinvestasi.
Dari Formula Menjadi Kegagalan Total
Sepanjang dasawarsa terakhir, formula spekulatif diperkenalkan satu demi satu, dipopulerkan, kemudian dicampakkan. Semua memiliki sejumlah ciri yang sama – ini cepat! Ini mudah! Ini tak akan membuat Anda rugi sedikit pun! – sementara semua melanggar setidaknya satu dari beberapa rumusan yang dibuat Graham untuk membedakan antara investasi dan spekulasi. Berikut ini formula trendy yang gagal total:
Ambil untung di tahun baru: ”Efek Januari” (The January effect) – kecenderungan saham-saham kecil untujk menghasilkan keuntungan besar pada sekitar pertukaran tahun- diperkenakan secara luas dalam berbagai artikel ilmiah dan buku-buku populer yang diterbitkan pada tahun 1980-an yang mengatakan bahwa jika Anda menimbun saham-saham kecil pada pertengahan kedua Desember dan menyimpannya hingga Januari, Anda akan mengalahkan pasar antara lima hingga 10 poin persentase (0.10%) Dengan makin banyaknya orang yang tahu tentang efek Januari, semakin banyak trader yang membeli saham-saham kecil pada Desember dan menjadikan saham tersebut tak lagi semurah sebelumnya dan dengan demikian menurunkan return. Selain itu, dampak terbesar dari efek Januari justru diciptakan oleh saham-saham yang paling kecil. Sayangknya ketika Anda telah selesai melakukan pembayaran kepada pialang Anda, semua keuntungan yang Anda peroleh dari efek Januari akan lenyap.

Seluruh formula yang sifatnya mekanikal demi memperoleh kinerja saham yang lebih tinggi sebenarnya adalah ”sejenis proses penghancuran diri- sama seperti hukum penurunan hasil (law of disinishing returns)”. Ada dua alasan mengapa return menjadi berkurang. Jika formula semata-mata didasarkan pada data-data statistik yang sifatnya kebetulan, maka waktu sendiri yang akan membuktikan bahwa sejak awal formula tersebut tak masuk akal. Di sisi lain, jika formula tersebut memang sudah berhasil sebelumnya (seperti Efek Januari) maka dengan mempublikasikannya, para kritikus pasar akan menggerogoti dan biasanya menghilangkan kemampuan formula itu untuk bisa melakukan hal yang serupa di masa yang akan datang.
Advis yang diberikan oleh Graham ketika Anda harus menyikapi spekulasi, yaitu seperti seorang penjudi kenyang pengalaman mengayunkan langkah-langkah kakinya ke kasino:
1. Jangan terperdaya oleh pikiran Anda yang mengatakan bahwa Anda sedang berinvestasi ketika sebenarnya Anda sebenarnya sedang berspekulasi.
2. Berspekulasi akan menjadi sangat mematikan pada saat Anda mulai melakukannya dengan serius.
3. Anda harus membuat batasan yang tegas atas jumlah yang berani Anda pertaruhkan.
Sama seperti seorang penjudi yang penuh perhitungan membawa katakan US$100 ke lantai kasino dan meninggalkan semua sisa uangnya dalam brankas terkunci di hotelnya, seorang investor pintar akan menyisihkan bagian yang sangat kecil dari seluruh portfolionya untuk digunakan sebagai ”uang gila.” Bagi sebagian besar kita, 10% dari semua kekayaan adalah jumlah maksimal yang masih mungkin digunakan untuk tujuan spekulatif yang berisiko.
Jangan pernah mencampur uang dalam rekening spekulatif Anda dengan uang yang ada dalam rekening investasi Anda; jangan pernah biarkan pikiran-pikiran spekulatif merasuk ke dalam aktivitas investasi Anda, dan jangan pernah meletakkan lebih dari 10% harta Anda ke dalam rekening uang gila, apa pun yang terjadi.
Bagaimanapun baik atau buruk insting untuk melakukan perjudian adalah bagian dari sifat dasar manusia-sehingga bagi kebanyakan orang tak ada gunanya untuk mencoba menyembunyikannya. Namun, Anda harus membatasi dan menahannya. Itu satu-satunya cara untuk yakin bahwa Anda tidak akan membodohi diri sendiri dengan mencampuradukkan spekulasi dengan investasi.
oleh : Radityo Rhifiardi

2008 : Tahun Edukasi Perbankan Syariah

Data membuktikan, bahwa market share perbankan syariah saat ini masih sekitar 1,7 % persen (sekitar Rp 31 triliun) dari total asset perbankan secara nasional. Angka ini menunjukkan konstribusi perbankan syariah terhadap perekonomian Indonesia masih kecil. Bank Indonesia melalui blue print perbankan syariah telah menargetkan share bank syariah sebesar 5..2 persen pada desember 2008. Bertenggernya market share perbankan syariah sejak belasan tahun di atas satu koma, karena program sosialisasi yang dilakukan masih sangat minim (belum optimal). Artinya, sosialisasi perbankan syariah masih sangat kurang. Masyarakat luas di berbagai segmen masih terlalu banyak belum mengerti sistem, konsep, filosofi, produk, keuntungan dan keunggulan bank syariah. Karena minimnya pengetahuan masyarakat tentang perbankan syariah, maka tahun 2008 hendaknya kita jadikan sebagai tahun edukasi perbankan syariah. Bank Indonesia sudah akan memulainya dengan menggelar Festival Ekonomi Syariah 2008, mulai tgl 16 sd 20 Januari 2008 di Jakarta Convention Centre.
Minimnya program edukasi perbankan syariah diakui oleh Bank Indonesia. Menurut buku “Outlook Perbankan Syariah 2008” yang disampaikan oleh Bank Indonesia pada acara seminar akhir tahun perbankan syariah di Bank Indonesia, bahwa kurangnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang kelembagaan maupun ragam produk dan jasa yang ditawarkan perbankan syariah dikarenakan kurang intensifnya kegiatan edukasi (sosialisasi) yang dilakukan. Selain kurangnya sosialisasi itu, metode sosialisasi yang ada belum tepat dan belum baik, sehingga hasilnya masih jauh dari apa yang diharapkan.
Minimnya gerakan sosialisasi tersebut terlihat dari upaya yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Menurut laporan akhir tahun Bank Indonesia 2006, kegiatan sosialisasi oleh Bank Indonesia sepanjang tahun 2006 hanyalah 51 kali. Hal itu tidak jauh berbeda dengan tahun 2007. Sebuah upaya yang sangat minim mengingat besarnya jumlah penduduk Indonesia. Idealnya dalam setahun bisa dilakukan minimal 5 juta kali sosialisasi dalam setahun, bukan 51 kali. Oleh karena, program sosialisasi perlu dilaksanakan lebih ekstra di tahun 2008, baik oleh bank Indonesia, bank-bank syariah, akademisi dan masyarakat ekonomi syariah secara umum.
Bentuk sosialisasi perbankan syariah sangat beragam dan luas, seperti melalui media massa cetak atau elektronik, kegiatan pameran, buletin, majalah, buku, lembaga pendidikan, dan sebagainya. Tulisan ini, ingin menyuguhkan sebuah strategi jitu dan paling ampuh dalam mencapai target market share perbankan syariah 5%, 10% bahkan 40 %.
Prof.Dr.M.A. Mannan, pakar ekonomi Islam, dalam buku Ekonomi Islam, sejak tahun 1970 telah mengingatkan pentingnya upaya edukasi masyarakat tentang keunggulan sistem syariah dan keburukan dampak sistem ribawi. Dalam hal ini keseriusan Bank Indonesia perlu dipertanyakan, karena selama ini Bank Indonesia tidak memberikan perhatian yang berarti bagi upaya sosialisasi bank syariah, karena hanya sosilisasi sebanyak 51 kali dalam setahun. Betul, Bank Indonesia telah mendorong secara signifikan dari aspek regulasi seperti office channeling dan peraturan lainnya yang mendukung berkembangnya perbankan syariah. Namun dari segi edukasi yang meluas, masih jauh panggang dari api.
Harus diakui bahwa hampir satu juta masjid dan mushalla di Indonesia, sepi dari dakwah ekonomi syariah, padahal di situ berkumpul puluhan bahkan seratusan juta umat Islam, khususnya pada momentum khutbah jumat. Kesalahan besar Bank Indonesia atau juga bank-bank syariah ialah mereka mengatakan bahwa pasar tersebut bersifat segmented dan sudah jenuh, sehingga market share masih 1.7 % (baca Outlook Perbabkan suyariah 2008, hal, 15). Justru ceruk pasar jamaah masjid itulah yang masih terbuka luas yang belum digarap bank-bank syariah dan belum diperhatikan Bank Indonesia. Pasar inilah yang harus menjadi perioritas.
Di masjid berkumpul para pengusaha, hartawan, para presiden direktur, pejabat penting, tokoh masyarakat dan sebagainya. Jangan dianggap jamaah yang shalat jumat di masjid-masjid adalah masyarakat biasa atau tukang ojek. Tidak. Sekali-kali tidak. Ceruk pasar lainnya adalah masjid ta’lim, kelompok bimbingan jamaah haji, pesantren dan sebagainya.
5 juta kali sosialisasi
Sebagaimana disebut di atas, bahwa idealnya sosialisasi perbankan syariah dilakukan sebanyak 5 juta kali dalam setahun. Asumsinya, jumlah masjid di Indonesia sekitar 600.000 buah. Jika dalam setahun hanya 1 kali sosialisasi di tiap masjid, maka dibutuhkan 600.000 kali sosialisasi. Ingat di masjid-masid tidak cukup hanya sekali sosialisasi. , minal 3 atau 4 kali sosialisasi, agar pemahaman jamaah benar-benar mendalam, bukan sekedar kulit. Maka jika di setiap masjid hanya dilakukan 4 kali sosialisasi, maka dibutuhkan 2,4 juta kali sosialisasi. Belum termasuk sosialisasi terhadap 600.000 ustaz/ulamanya sebagai guru ekonomi syariah yang akan menyampaikan dakwah ekonomi Islam. Untuk mentraining para ulama minimal dibutuhkan 6.000 kali sosialisasi, dengan asumsi setiap sosialiasi dihadiri 100 peserta dan setiap sosialisasi memakan waktu 3 hari.
Sosialisasi juga mutlak dilakukan berkali-kali dalam setahun kepada majlis ta’lim ibu-ibu yang tersebar di seluruh Indonesia. Ingat, hampir di setiap desa dan kelurahan terdapat majlis ta’lim ibu-ibu, jumlahnya ratusan ribu majlis ta’lim ibu-ibu. Jika sosialisasi keada majlis ta’lim ibu dilakukan hanya 4 kali, maka paling tidak dibutuhkan 3.000.000 kali sosialisasi dengan asumsi di Indonesia ada 750 ribu kelompok majlis ta’lim.
Belum lagi sosialisasi terhadap pesantren yang jumlahnya mencapai 15.000. buah yang tersebar di Indonesia. Jika dalam setahun hanya dilakukan 1 kali kegiatan sosialisasi, maka dibutuhkan 15.000 kali sosialisasi. Sosialisasi juga harus dilakukan kepada seluruh seluruh Perguruan Tinggi, tidak saja kepada fakultas ekonomi dan fakultas syariah tetapi juga ke seluruh civitas akademika, biro rektor dan sebagainya. Jumlahnya secara keseluruhan juga tidak kurang dari 15.000.-.. Sekolah SMU juga perlu mendapat perhatian untuk sosialisasi yang jumlahnya lebih dari 70.000 sekolah. Demikian pula kepada seluruh sekolah Madrasah Aliyah (MAN/MAS), Tsnawiyah, . Jumlahnya lebih dari 40.000 sekolah. Demikian pula kepada aparat pemerintah di setiap kecamatan, kabupaten kota, para pegawai di dinas-dinas pemerintah, DPRD, instansi departemen di tingkat propinsi dan kabupaten kota. Belum lagi kelompok KBIH (Kelompok Bimbingan Ibadah Haji). Bahkan tidak mustahil sosialisasi kepada sekolah SD dan TK, agar bank syariah lebih dkenal sejak awal.
Berdasarkan kebutuhan akan sosialisassi tersebut, maka tidak aneh jika saat ini dibutuhkan 5 juta kali sosialisasi oleh para ahli dan atau ustaz yang terlatih. Iklan di televisi, radio memang dibutuhkan, namun sosialisasinya melahirkan market yang mengambang (floating), tidak mendalam dan siginifikan mencerdaskan umat Islam yang mendengarnya. Maka di samping iklan media massa seperti itu, sangat diperlukan pula edukasi langsung kepada masyarakat dengan metode dan materi yang tepat. Perlu menjadi catatan, bahwa Bank Indonenia tidak boleh merasa bahwa sosialisasi yang dilakukannya sudah terlalu banyak. Ini kesalahan yang sangat fatal. Sosialisasi yang dilakukan Bank Indonesia bagaikan setetes air di tengah sungai yang besar, hampir tidak berpengaruh bagi masyarakat secara signifikan, maka tidak aneh jika sejak beberapa tahun terakhir market share bank shariah masih kecil. Indonesia adalah bangsa yang besar dan negara yang luas. Penduduknya lebih dari 200 juta. Maka edukasi bank syariah mustahil dilakukan sendirian oleh Bank Indonesia dan PKES yang dibentuknya, ditambah promosi bank-bank syariah.
Upaya-upaya promosi dan sosialisasi itu masih sangat kecil dan terbatas. Ratusan juta (sebagian besar) umat Islam Indonesia belum mengerti tentang sistem perbankan syariah. Puluhan ribu ulama yang berkhutbah di mesjid belum menyampaikan materi ekonomi syariah secara rasional, ilmiah, bernash agama dan meyakinkan umat. Hal ini karena para ulama/ ustas belum mengerti ilmu perbankan syariah.. Ratusan ribu mesjid masih sepi dari topik ekonomi ekonomi syariah, karena para ustaznya tidak mengerti (bahkan tidak yakin) pada keunggulan bank syariah. Malah masih terlalu banyak ulama yang berpandangan dangkal bahkan miring tentang perbankan syariah. Seandainya para ustaz/ulama telah dicerdaskan dengan ilmu muamalah yang ilmiah (’aqliyah) dalam bidang perbankan, niscaya market share perbankan syariah tidak seperti saat ini, bahkan akan tercipta customer yang rasional, bermoral dan loyal. Jika sosialisasi sudah tepat dan benar dilakukan, hampir dipastikan tak ada jamaah masjid yang mendukung bank-bank konvesional yang memakai bunga. Jamaah masjid di Indonesia lebih dari 100 juta umat. Kini nasabah bank syariah masih 2 jutaan. Itu berarti hampir seluruh jamaah masjid yang berhubungan dengan perbankan masih menggunakan bank-bank ribawi.
IAEI siap dan sanggup untuk melakukan perubahan paradigma ulama tentang perbankan serta mentraining ulama berdasarkan pendekatan integratif, ilmu-ilmu syariah dan ekonomi. Ilmu-ilmu syariah dakam hal ini bukan hanya fiqh muamalah, tetapi perangkat ilmu-ilmu alat yang sering menjadi andalan para ulama, seperti ilmu tafsir, hadits, ushul fiqh, qawaid fiqh, falsafah tasyri’, falsafah hukum Islam. Kesemuanya digabungkan dengan ilmu-ilmu modern, ilmu ekonomi moneter, perbankan dan ilmu ekonomi makro.

Pendekatan Komprehensif
Selama ini pendekatan sosialisasi belum utuh dan integratif, masih parsial dan tidak tuntas, sehingga virus keraguan para ulama dan masyarakat tentang perbankan syariah tidak hilang. Senjata sosialisasi yang ada selama ini belum ampuh menaklukkan ilmu para ulama, akademisi dan tokoh agama. Maka diperlukan modul dan materi yang telah terbukti ampuh berhasil merubah paradigma ulama dan myakinkan mereka secara rasional, ilmiah, tajam dan disertai pendekatan ilmu-ilmu syariah itu sendiri.
Jika personil Bank Indonesia atau pun bank syariah yang berasal dari pendidikan umum memberikan sosialisasi kepada para ulama pesantren, maka ulama bisa saja menolak berdasarkan ilmu ushul fiqh atau disiplin ilmu syariah lainnya. Para ulama menggangap bahwa para bankir dari Bank Indonesia dan bank syariah tidak ahli dalam tafsir ayat-ayat al-quran, hadits, ilmu ushul fiqh, tarikh tastri’ dan sebagainya. Karena itu, pendekatan kepada ulama haruslah melalui pendekatan ilmu-ilmu syariah sendiri ditambah ilmu-ilmu moneter dan perbankan secara utuh.
Sebaliknya jika ulama pesantren yang melakukan sosialisasi, juga tidak cukup karena pendekatannya sering dengan ideom halal haram, penggunaan dalil naqli an sich dan kering dari teori-teori rasional yang ilmiah atau tidak ada informasi ilmiah yang dilekatkan kepada syariah.
Sosialisasi kepada umat, bukan melulu pendekatan religius normatif (emosional) dan karena lebel syariah, tetapi lebih dari itu, sebuah materi yang berwawasan ilmiah, rasional dan obyektif. Jadi, gerakan edukasi dan pencerdasan secara rasional tentang perbankan syariah sangat dibutuhkan, bukan hanya mengandalkan kepatuhan (loyal) pada syariah. Masyarakat yang loyal syariah terbatas paling sekitar 10-15 %. Masyarakat harus dididik, bahwa menabung di bank syariah, bukan saja karena berlabel syariah, tetapi lebih dari itu, sistem ini dipastikan akan membawa rahmat dan keadilan bagi ekonomi masyarakat, negara dan dunia, tentunya juga secara individu menguntungkan. Dalam edukasi, masyarakat betul-betul dicerdaskan, masyarakat diajak agar tidak berpikir sempit, tetapi rasional, obyektif, berpikir untuk kepentingan jangka panjang.
Karena informasi keilmuan yang terbatas, masyarakat masih banyak yang menyamakan bank syariah dan bank konvensional secara mikro dan sempit. Masyarakat (publik) masih banyak yang belum mengerti betapa sistem bunga, membawa dampak yang sangat mengerikan bagi keterpurukan ekonomi dunia dan negara-negara bangsa. Karena itu sistem syariah harus dibangun secara bertahap, terprogram dan terukur dengan target-target yang realistis.
Jika masyarakat masih menganggap sama bank syariah dengan bank konvensional, itu berarti, masyarakat belum faham tentang ilmu moneter syariah, dan ekonomi makro syariah tentang interest, dampak bunga terhadap inflasi, produktitas, unemployment, juga belum faham tentang prinsip, filosofi, konsep dan operasional bank syari’ah.
Menggunakan pendekatan rasional sempit melalui iklan yang floating (mengambang) hanya menciptakan custumer yang rapuh dan mudah berpindah-pindah. Maka perlu menggunakan pendekatan rasional komprehensif, yaitu pendekatan yang menggabungkan antara pendekatan rasional, moral dan spiritual.
Pendekatan rasional adalah meliputi pelayanan yang memuaskan, tingkat bagi hasil dan margin yang bersaing, kemudahan akses dan fasilitas. Pendekatan moral adalah penjelasan rasional tentang dampak sistem ribawi bagi ekonomi negara, bangsa dan masyarakat secara agregat, bahkan ekonomi dunia. Maka secara moral, tanpa memandang agama, semua orang akan terpanggil untuk meninggalkan sistem riba.
Pendekatan spiritual adalah pendekatan emosional keagaaman karena sistem dan label syariah. Pendekatan ini cocok bagi mereka yang taat menjalankan agama, atau masyarakat yang loyal kepada aplikasi syariah. Upaya membangun pasar spiritual yang loyal masih perlu dilakukan, agar sharenya terus meningkat. Semakin gencar sosialisasi membangun pasar spiritual, maka semakin tumbuh dan meningkat asset bank-bank syariah.
Jika Bank Indonesia dan bank-bank syariah bekerjasama dengan IAEI (Ikatan Ahli Ekonomi Islam) dan para akademisi serta ulama secara serius dalam mengedukasi masyarakat, maka akan terjadi kemajuan yang luar biasa, tidak saja loncatan hebat dalam market share bank syariah, tetapi juga terbangun kecerdasan umat dalam memilih lembaga perbankan secara ilmiah dan istiqamah.

Penutup
Mengingatnya minimnya gerakan sosialisasi bank syariah dan kecilnya market sharenya (1, 7%), maka tahun 2008 hendaknya dijadikan sebagai tahun edukasi ekonomi syariah. Jika gerakan edukasi dan sosialisasi dilakukan secara optimal dan tepat, maka market share bank syariah 5,2 persen, bisa dicapai dengan cepat dengan basis nasabah yang istiqamah, bermoral dan rasional, tidak mudah berpindah-pindah ke bank konvensional karena kenaikan suku bunga perbankan konvensional. Upaya Bank Indonesia mendesak bank-bank konvensional yang membuka office channeling agar menempelkan logo (spanduk) adanya layanan syariah di kantor bank konvensional, sangat bagus, namun masyarakat harus dicerdaskan mengapa harus memilih bank syariah. Kita tidak ingin terjadinya pemilihan ke bank syariah karena ikut-ikutan, tanpa dasar ilmu pengetahuan, atau karena emosional saja. Nasabah seperti ini mudah kecewa dan menyebarkan kekecewaaannya kepada orang lain, sehingga menimbulkan citra buruk bagi bank-bank syariah. Padahal kekecewaaanya tersebut seringkali karena salah faham atau kurang mengerti tentang perbankan syariah. Insya Allah kita sangat siap membantu pencerdasan masyarakat tentang perbankan syariah tersebut, dan di beberapa daerah telah telah dibuktikan secara faktual keberhasilannya.
oleh : Agustianto
(Penulis adalah Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia, Dosen Pascasarjana Ekonomi dan Keuangan Islam UI, Pascasarjana Islamic Economics and Finance Universitas Trisakti, Pascasarjana Bisnis dan Keuangan Islam Universitas Paramadina dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Konsentrasi Perbankan Syariah)

Market Share Bank Syariah

Abstraksi
Artikel ini mencoba mengkritisi akselerasi perkembangan perbankan syari'ah nasional agar mencapai market share 5%. Kekhawatiran bermunculan dari berbagai kalangan bahwa tahun 2008 perbankan syari'ah nasional tidak memenuhi target market share 5% dari total aset perbankan nasional sesuai Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syari'ah Indonesia. Untuk mempercepat hal tersebut BI menetapkan Kebijakan Akselerasi Perkembangan Perbankan Syari'ah 2007-2008.Dampak akselerasi perkembangan perbankan syari'ah, bila dilihat lebih lanjut memunculkan masalah-masalah baru. Pertama, meningkatnya NPF yang mencapai 6,2% per September 2007 (lebih tinggi dari prosentasi NPL perbankan konvensional) . Kedua, tidak memiliki upaya genuine pengembangan produk perbankan syari'ah. Ketiga, masalah kedua merupakan dampak hilangnya sense melakukan identifikasi core competencies unique bank syari'ah yang mengusung nilai-nilai Islam Indonesia (universal sekaligus lokal). Keempat, penegasan pentingnya kuantitas dalam program akselerasi menggeser kepentingan kualitas perbankan syari'ah. Diperlukan pembenahan mendasar mengenai Cetak Biru dan Program Akselerasi Pengembangan Perbankan Syari'ah. Pertama, hendaknya visi pengembangan sesuai maqashid asy syari'ah, yaitu mashlaha, kesejahteraan ummat yang hakiki, yang menekankan harmoni dan keseimbangan produksi-intermedia si-retail sesuai ushwah model ekonomi Rasulullah. Kedua, agar visi sesuai maqashid asy syari'ah diperlukan reorientasi diri yang berpijak pada ditemukannya core competencies. Ketiga, pengembangan produk perbankan syari'ah hendaknya sesuai dengan core competencies sehingga memunculkan karakter genuine perbankan syari'ah ala Indonesia. Keempat, perlunya dikembangkan produk qardh yang tetap mengedepankan prinsip produktif dan bukannya untuk kepentingan konsumtif. Kelima, perlunya regulasi Bank Indonesia berkenaan prioritas pengembangan produk muzara'ah dan musaqah bagi kalangan perbankan syari'ah. Keenam, peningkatan market share tetap mementingkan kuantitas maupun kualitas dan tidak didasari prioritas "kompetitif" dan "efisiensi", tetapi mementingkan harmoni dan mashlaha sebagai tujuan utama perbankan syari'ah.
oleh : Adji Dedi Mulawarman

Selasa, 18 Desember 2007

Dinamika Kompetisi Perbankan Syariah

Dinamika kompetisi perbankan, termasuk produk syariah, yang makin tinggi mengakibatkan suatu competitive advantage yang dimiliki oleh suatu bank makin tidak sustainable. Dengan demikian, sebuah bank harus melakukan berbagai upaya pembaharuan yang tidak kenal henti untuk dapat menjadi pemain utama pada segment-nya. Sehingga, dapat menjadi preferensi utama customer yang berujung pada kepuasan dan bahkan loyalitas.

Seiring dengan berkembangnya suatu bisnis yang membuat persaingan menjadi ketat, banyak perusahaan berlomba-lomba meningkatkan fasilitas, prasarana, dan berbagai manfaat lainnya kepada pelanggannya. Hal tersebut juga terjadi pada industri perbankan, termasuk Bank Syariah. Namun, menurut para pakar manajemen, apabila hal tersebut dilakukan tanpa melihat dan memperhatikan kebutuhan pelanggan yang sesungguhnya, maka hal tersebut akan menjadi kontraproduktif. Dengan demikian, investasi besar-besaran dalam hal layanan yang bersifat fungsional tersebut, belum tentu mampu meningkatkan laba perusahaan, meskipun apa yang telah diupayakan berhasil meningkatkan kepuasan nasabah.

Untuk mengantisipasi permasalahan di atas pada era teknologi informasi yang percepatannya sangat luar biasa saat ini, diperlukan sebuah strategi yang berbeda daripada era sebelumnya. Mengadakan infrastruktur teknologi informasi seorang diri untuk kondisi saat ini, merupakan sebuah tindakan yang lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Untuk itu, diperlukan sebuah strategi yang memanfaatkan sinergi dari masing-masing pesaing agar permasalahan perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat dapat diantisipasi dengan membentuk sebuah kelompok penggunaan teknologi bersama. Dengan demikian, kompetitor tidak lagi menjadi “pesaing” dalam arti sempit, tetapi menjadi mitra dalam persaingan. Alternatif seperti itu dapat dimasukkan dalam kategori koopetisi (coopetition) yang sedang menjadi trend strategi baru bagi para pebisnis.

Dalam konsep bisnis islami dikenal suatu konsep tawa’un yang dilandasi dari semangat ajaran Al Qur’an yang menyebutkan “… Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan janganlah tolong menolong dalam perbuatan dosa dan pelanggaran. …” (Surah Al-Maidah/5: 2). Konsep tersebut mengajarkan sebuah kebersamaan akan membawa hasil yang lebih optimal. Namun demikian, kebersamaan dalam bisnis islami bukan berarti persamaan. Islam mengakui adanya perbedaan antara satu pihak dengan pihak lainnya sebagaimana, antara lain, disebut dalam Surah Az Zukhruf/43:32) , yakni: “… Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. …” Dengan demikian strategi koopetasi dalam bisnis tidak bertentangan dengan nilai-nilai ekonomi islami.

Bagi sebuah bank syariah, sebagai lembaga bisnis islami, dalam melakukan strategi koopetasi dapat saja bergabung dengan semua bank-bank yang telah atau akan memiliki teknologi informasi yang up to date dan distribution channel yang paling luas. Di samping itu, dapat pula memanfaatkan layanan bersama yang dipersiapkan oleh pihak ketiga yang khusus mengelola peluang-peluang tersebut dengan menyediakan sebuah fasilitas penghubung.

Sinergi yang dilakukan sebuah bank syariah dengan para pesaing dalam strategi koopetisi, dapat dilakukan pada semua pelayanan perbankan terpadu. Hal minimal yang harus dapat dilayani dengan adanya sinergi tersebut adalah seorang nasabah sebuah bank syariah dapat menyetor dan menarik serta mentransfer dana dari dan ke rekening yang dimiliki dari seluruh bank yang diajak besinergi. Langkah berikutnya bisa melayani pemberian pembiayaan bersama (hal ini hanya bisa dilakukan dengan sesama bank atau unit pelayanan syariah). Kemudian, diharapkan semua layanan perbankan dapat dijangkau nasabah sebuah bank syariah, meskipun tidak dilakukan secara langsung pada infrastuktur yang dimiliki langsung oleh bank syariah tersebut.

Dengan berubahnya era ekonomi saat ini yang bergantung kepada perubahan teknologi informasi yang begitu cepat, strategi koopetisi di antara pemain di industri perbankan syariah akan menjadi sebuah hal yang tidak dapat dielakkan untuk menjamin eksistensi sebuah bank dalam menghadapi persaingan yang semakin terbuka di masa depan.


Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)

Rabu, 12 Desember 2007

SUN (Surat Utang Negara) Syariah


Oleh: Irfan Syauqi Beik, Msc
Beberapa waktu lalu, menjelang keberangkatan rombongan Presiden SBY ke Timur Tengah, Menneg BUMN Sugiharto pernah menyatakan bahwa pemerintah saat ini tengah berupaya untuk menggali berbagai potensi dana yang berasal dari Timur Tengah, yang diperkirakan jumlahnya mencapai angka miliaran dolar AS. Diharapkan, kunjungan SBY ini akan menjadi momentum untuk mendorong peningkatan investasi Timur Tengah di Indonesia.

Namun demikian, para investor Timur Tengah tersebut mengharapkan agar Indonesia terlebih dahulu memperkuat infrastruktur investasi, dengan menyiapkan berbagai instrumen yang dapat mendorong proses percepatan masuknya aliran dana. Salah satu instrumen tersebut adalah sukuk / obligasi syariah yang diterbitkan oleh negara, atau yang kita kenal dengan istilah Surat Utang Negara (SUN) syariah. Melalui penerbitan SUN syariah di pasar global, diharapkan pintu masuk bagi para investor Timur Tengah akan semakin terbuka lebar. Sayangnya, hingga saat ini aturan mengenai penerbitan SUN syariah masih belum memiliki landasan hukum yang kuat, sehingga menjadi tugas pemerintahlah untuk segera melakukan revisi terhadap aturan-aturan yang ada.
Sejarah Sukuk
Sesungguhnya, sukuk / obligasi syariah ini bukan merupakan istilah yang baru dalam sejarah Islam. Istilah tersebut sudah dikenal sejak abad pertengahan, dimana umat Islam menggunakannya dalam konteks perdagangan internasional. Sukuk merupakan bentuk jamak dari kata sakk. Ia dipergunakan oleh para pedagang pada masa itu sebagai dokumen yang menunjukkan kewajiban finansial yang timbul dari usaha perdagangan dan aktivitas komersial lainnya (Ayub, 2005). Namun demikian, sejumlah penulis Barat yang memiliki concern terhadap sejarah Islam dan bangsa Arab, menyatakan bahwa sakk inilah yang menjadi akar kata “cheque” dalam bahasa latin, yang saat ini telah menjadi sesuatu yang lazim dipergunakan dalam transaksi dunia perbankan kontemporer (Adam, 2005).
Dalam perkembangannya, the Islamic Jurispudence Council (IJC) kemudian mengeluarkan fatwa yang mendukung berkembangnya sukuk. Hal tersebut mendorong Otoritas Moneter Bahrain (BMA – Bahrain Monetary Agency) untuk meluncurkan salam sukuk berjangka waktu 91 hari dengan nilai 25 juta dolar AS pada tahun 2001. Kemudian Malaysia pada tahun yang sama meluncurkan global corporate Sukuk di pasar keuangan Islam internasional. Inilah sukuk global yang pertama kali muncul di pasar internasional.
Selanjutnya, penerbitan sukuk di pasar internasional terus bermunculan bak cendawan di musim hujan. Tidak ketinggalan, pemerintahan di dunia Islam pun mulai melirik hal tersebut. Sebagai contoh, pada tahun 2002 pemerintah Malaysia menerbitkan sukuk dengan nilai 600 juta dolar AS dan terserap habis oleh pasar dengan cepat, bahkan sampai terjadi over subscribe. Begitu pula pada Desember 2004, pemerintah Pakistan menerbitkan sukuk di pasar global dengan nilai 600 juta dolar AS dan langsung terserap habis oleh pasar. Dan masih banyak contoh lainnya.
Harus kita akui, bahwa sukuk atau obligasi syariah ini adalah salah satu bentuk terobosan baru dalam dunia keuangan Islam, meskipun istilah tersebut adalah istilah yang memiliki akar sejarah yang panjang. Inilah salah satu bentuk produk yang paling inovatif dalam pengembangan sistem keuangan syariah kontemporer.
SUN Syariah di Indonesia
Jika kita cermati, maka fatwa tentang sukuk atau obligasi syariah ini sesungguhnya telah dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional MUI sejak tahun 2002. Dalam fatwa No. 32 / DSN-MUI / IX / 2002, obligasi syariah didefinisikan sebagai “suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil margin / fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo”. Dengan adanya fatwa tersebut, maka secara legal syariah, obligasi syariah ini tidak memiliki masalah.
Salah satu hal yang menarik adalah bahwa obligasi syariah ini dalam prakteknya harus didasarkan pada akad-akad yang sesuai dengan standar syariah, seperti mudarabah, musyarakah, murabahah, dan lain-lain. Sehingga, skema obligasi syariah yang ada bisa bermacam-macam, tergantung pada kebutuhan dan kondisi perekonomian suatu negara dan masyarakat. Skema tersebut bisa dalam bentuk mudarabah sukuk, musyarakah sukuk, murabahah sukuk, salam sukuk, dan lain-lain. Dengan pola demikian, obligasi syariah ini dapat menjadi alat yang efektif untuk mendorong pertumbuhan sektor riil karena akad-akad tersebut pada dasarnya merupakan bentuk investasi di sektor riil.
Kalau kita analisa, obligasi syariah ini sesungguhnya merupakan peluang bagi kita untuk mengundang para investor muslim dan non-muslim untuk mau terlibat berinvestasi di tanah air. Sehingga, obligasi syariah dapat dimanfaatkan untuk membangun perekonomian bangsa dan menciptakan kesejahteraan masyarakat. Fakta selama ini menunjukkan bahwa pasar akan sangat responsif terhadap penerbitan obligasi syariah. Hampir semua obligasi syariah yang dikeluarkan, diserap habis oleh pasar dan bahkan, pada beberapa kasus, sampai menimbulkan kelebihan permintaan. Apalagi jika obligasi syariah tersebut diterbitkan oleh negara.
Untuk itu, pemerintah Indonesia harus secara cermat memperhatikan kondisi yang ada dan segera bertindak cepat dan pro aktif untuk memanfaatkan segala peluang, dengan segera menerbitkan SUN syariah. Paling tidak, ada dua hal yang mendesak untuk dilakukan.
Pertama, pemerintah dalam hal ini Departemen Keuangan harus segera menyempurnakan payung hukum yang kuat bagi penerbitan SUN syariah ini. Penulis menganggap bahwa persoalan ini seharusnya bukanlah persoalan yang sulit. Tinggal apakah pemerintah memiliki komitmen yang kuat atau tidak. Amandemen terhadap undang-undang yang mengatur tentang obligasi menjadi mutlak dilakukan. Yang tidak kalah penting adalah pemerintah dan DPR harus terus menerus berkomunikasi secara intensif terkait dengan hal tersebut, termasuk juga bagaimana menciptakan iklim yang kondusif bagi pengembangan obligasi syariah.
Penulis dalam sebuah kesempatan beberapa waktu lalu pernah bertemu dengan beberapa praktisi keuangan syariah asal Malaysia. Mereka mengatakan bahwa jika saja pemerintah Indonesia mampu secara cepat mengatasi problematika regulasi terkait dengan penerbitan obligasi syariah, maka Indonesia diyakini akan menjadi pasar yang sangat menarik bagi para investor. Bahkan, bisa jadi Malaysia sendiri pun akan mampu “dikalahkan” oleh Indonesia sebagai pusat keuangan syariah terbesar di Asia Tengara mengingat besarnya potensi sumberdaya yang dimilikinya. Tentu saja hal tersebut terdengar seperti sebuah utopia, karena banyak variabel yang harus diperhitungkan. Meski demikian, hal tersebut bukan pula sesuatu yang mustahil.
Kedua, dalam perencanaan pembangunan, hendaknya pemerintah, melalui Bappenas, mulai memikirkan proyek-proyek pembangunan yang bersifat padat karya, dengan tujuan untuk menyerap pengangguran, yang sumber pendanaannya berasal dari penerbitan SUN syariah. Sudah saatnya kita tidak perlu mengemis-ngemis lagi kepada negara-negara kreditor untuk meminta penambahan utang luar negeri dengan bunga yang mencekik APBN. Apalagi kalau sampai menjadikan utang luar negeri sebagai salah satu sumber utama pembiayaan pembangunan dalam APBN.
Untuk itu, pendataan potensi daerah menjadi mutlak dilakukan. Disinilah pentingnya peran pemerintah pusat untuk berkomunikasi secara terbuka dan intensif dengan pemerintah daerah dalam mengembangkan potensi yang dimilikinya, sekaligus merencanakan pembangunan secara lebih tepat dan terarah. Sebagai contoh, di daerah yang memiliki potensi peternakan sapi, pemerintah perlu untuk membangun pabrik pengolahan susu sapi dan produk-produk turunannya, seperti kornet dan makanan kaleng daging sapi lainnya. Sumber pembiayaan pendirian pabrik tersebut bisa saja didapatkan dengan menerbitkan SUN syariah berbasis mudarabah. Atau untuk mengembangkan pertanian di suatu wilayah, pemerintah melalui Deptan perlu menerbitkan SUN syariah berbasis akad salam, sehingga diharapkan produktivitas petani akan semakin meningkat karena mereka akan termotivasi untuk terus berproduksi.
Bisa dibayangkan bagaimana dahsyatnya kekuatan SUN syariah ini. Banyak hal yang dapat dilakukan. Namun demikian, kita masih menunggu bagaimana langkah pemerintahan ini selanjutnya, terutama pasca kunjungan SBY ke Timteng. Mampukah mereka menangkap peluang ini? Wallahu’alam.
*Dosen FEM IPB dan Mahasiswa S3 Ekonomi Syariah IIU Malaysia