Rabu, 12 Desember 2007

Pajak Berganda di Bank Syariah

Pajak ganda yang dikenakan pada transaski murabahah (jual beli) merupakan isu penting yang belum kunjung surut dalam industri perbankan syariah sejak 2002. Karenanya ini akan menjadi pekerjaan rumah (PR) penting Ketua Asbisindo periode 2007-2012, Riawan Amin. Dirut BMI ini menggantikan Wahyu Dwi Agung, dalam musyawarah nasional asosiasi yang berakhir pekan lalu.
Berawal ketika pada akhir 2002, sebuah bank konvensional menyurati Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak yang mengklarifikasi apakah benar transaksi murabahah tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Ditjen Pajak tidak tahu-menahu perihal transaksi murabahah. Setelah melakukan kajian, mereka menyimpulkan bahwa praktik transaksi murabahah adalah transaksi jual beli antara penjual barang kepada bank syariah yang dilanjutkan dengan transaksi jual beli antara bank syariah dan nasabah.
Karena itu, merujuk pada UU no. 8/2000 tentang PPN barang dan jasa serta Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM), perpindahan kepemilikan barang dalam transaksi murabahah pun dikenai PPN dua kali. Pertama saat dianggap telah terjadi penyerahan barang dari penjual kepada bank, kedua saat terjadi peyerahan barang dari bank kepada nasabah.
Surat tersebut memicu perbincangan serius di kalangan perbankan syariah. Mereka berpandangan meskipun memakai prinsip jual beli, pembiayaan murabahah bukan semata-mata transaksi jual beli. Pengenaan PPN ganda dinilai tidak tepat. PPN tersebut dikenakan dua kali dalam transaksi jual beli di bank syariah, yakni saat barang dibeli dan kemudian saat barang diserahkan kepada bank. Aprat pajak juga mengenakan PPN dari keuntungan yang didapat bank dari transaksi jual beli tersebut. Padahal, bank hanya melaksanakan fungsi intermediasi membiayai nasabah untuk membeli barang.
Riawan Amin, sebagai Direktur Utama BMI, sangat peduli dengan masalah pajak ganda. Dalam sebuah wawancara dengan sebuah Koran nasional, dia secara tegas menyampaikan penolakkanya. Bank syariah, menurut Riawan, menganggap kebijakan pajak tersebut tidak tepat karena bank syariah adalah lembaga keuangan yang bebas dari pajak PPN. Karena itu, hingga saat ini Bank Muamalat tetap tidak bersedia membayar PPN itu. "Bank Muamalat sama sekali tidak mau membayar. Silakan saja kalau pemerintah mau menyita," kata Riawan kepada KONTAN.
Masalah serupa juga muncul di penerapan obligasi syariah (sukuk). Ia menyontohkan kegagalan PLN menerbitkan sukuk bagi investor asal Timur Tengah.
Menurutnya, salah satu bank dari Dubai, Uni Emirat Arab, sebagai investor ingin transaksi pembelian sukuk itu dinyatakan sebagai transaksi formalitas. Dengan begitu pajaknya pun harus ditetapkan formalitas juga. Namun masalahnya, UU Perpajakan tidak memungkinkan itu dikarenakan setiap transaksi harus dikenakan pajak. "Karena itu harus ada jalan keluarnya dengan rancangan UU baru," tegas Riawan.
Tak Wajib Bayar PPN
Berdasarkan Undang-Undang nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan, bank konvensional dan shariah termasuk lembaga keuangan. Mestinya, menurut Riawan, kedua lembaga itu tidak terkena kewajiban membayar PPN.
Namun kenyataannya perbankan syariah tetap terkena PPN. Alasan Direktorat Jenderal Pajak, dalam transaksi murabahah ada prinsip jual beli yang lazim terkena PPN.
"Pemerintah memperlakukan bank syariah seolah-olah seperti show room mobil atau penjual material," ujar Riawan kesal.
dari berbagai sumber

Tidak ada komentar: